Di
antara dampak utama ketunarunguan pada perkembangan anak adalah dalam bidang
bahasa dan ujaran (speech). Kita perlu membedakan antara bahasa (sistem utama
yang kita pergunakan untuk berkomunikasi) dan ujaran (bentuk komunikasi yang
paling sering dipergunakan oleh orang yang dapat mendengar). Besar atau
kecilnya hambatan perkembangan bahasa dan ujaran anak tunarungu tergantung pada
karakteristik kehilangan pendengarannya. Hambatan tersebut dapat mengakibatkan
kesulitan dalam belajar di sekolah dan dalam berkomunikasi dengan orang yang
dapat mendengar/berbicara sehingga berdampak pada perkembangan sosial dan
keragaman pengalamannya. Ini karena sebagian besar perkembangan sosial
masyarakat didasarkan atas komunikasi lisan, begitu pula perkembangan
komunikasi itu sendiri, sehingga gangguan dalam proses ini (seperti terjadinya
gangguan pendengaran), akan menimbulkan masalah.
A. Perkembangan Bahasa Anak Tunarungu
Telah dikemukakan di atas bahwa dalam banyak hal dampak yang paling serius dari
ketunarunguan yang terjadi pada masa prabahasa terhadap perkembangan individu
adalah dalam perkembangan bahasa lisan, dan akibatnya dalam kemampuannya untuk
belajar secara normal di sekolah yang sebagian besar didasarkan atas
pembicaraan guru, membaca dan menulis. Seberapa besar masalah yang dihadapi
dalam mengakses bahasa itu bervariasi dari individu ke individu. Ini tergantung
pada parameter ketunarunguannya, lingkungan auditer, dan karakteristik pribadi
masing-masing anak, tetapi ketunarunguan ringan pada umumnya menimbulkan lebih
sedikit masalah daripada ketunarunguan berat.
1. Perkembangan Membaca
Banyak penelitian yang dilakukan selama 30 tahun terakhir ini menunjukkan bahwa
tingkat kemampuan membaca anak tunarungu berada beberapa tahun di bawah anak
sebaya/sekelasnya dan bahwa bahasa tulisnya sering mengandung sintaksis yang
tidak baku dan kosakata yang terbatas.
Terdapat bukti yang jelas bahwa berdasarkan tes prestasi membaca yang baku,
skor anak-anak tunarungu secara kelompok berada di bawah norma anak-anak yang
dapat mendengar, meskipun beberapa di antara mereka memperoleh skor normal
untuk tingkat usia dan kelasnya.
Sejumlah penelitian telah dilakukan selama bertahun-tahun oleh Pusat Asesmen
dan Studi Demografik di Gallaudet University di Washington DC. Di antaranya
adalah penelitian yang dilakukan oleh Gentile (1973), yang mengetes lebih dari
16.000 siswa tunarungu dengan Stanford Achievement Test. Dia menemukan bahwa
pada usia enam tahun skornya adalah ekuivalen dengan kelas 1,6, naik terus
secara perlahan hingga menjadi ekuivalen dengan kelas 4,4 pada usia 19 tahun;
kenaikan hanya sebesar 2,8 kelas selama 13 tahun.
Temuan yang hampir sama dilaporkan di Inggris oleh Conrad (1979), yaitu bahwa
mean usia baca anak-anak tunarungu tamatan pendidikan dasar adalah nine tahun 4
bulan, yang berkisar dari 10 tahun 4 bulan untuk tunarungu sedang hingga 8
tahun 3 bulan untuk tunarungu sangat berat.
Data dari Australia juga serupa. Ditemukan bahwa 66% dari sampel siswa tunarungu
usia 11 tahun di negara-negara bagian Australia sebelah timur menunjukkan usia
baca lebih dari 4 tahun di bawah usia kalendernya (Ashman & Elkins, 1994).
Di Selandia Baru, VandenBerg (1971) menemukan bahwa dari semua siswa SLB bagi
tunarungu yang berusia hingga 14 tahun, tidak ada yang mencapai usia baca di
atas 11 tahun.
Data di atas tampak menunjukkan bahwa anak tunarungu mengalami kesulitan dalam
membaca dan bahwa mereka semakin tertinggal oleh sebayanya yang dapat mendengar
di kelas-kelas yang lebih tinggi di mana materi bacaan yang harus dibacanya
semakin kompleks. Akan tetapi, Moores (1987) mengemukakan penjelasan lain untuk
hasil penelitian tersebut. Sebagian besar penelitian itu dilakukan secara cross‑sectional,
tidak mengikuti kemajuan siswa yang sama dan mengetesnya setiap tahun, sehingga
mungkin bahwa tingkat kecacatan yang berbeda pada tahun yang berbeda akan
mempengaruhi hasil tes itu, dan bahwa pemindahan siswa yang berkemampuan lebih
tinggi ke sekolah reguler menyebabkan siswa ini tidak tercakup dalam survey
sehingga hasil tes pada usia yang lebih tinggi skor rata-ratanya menurun.
Satu penelitian oleh Allen (1986) mengatasi persoalan ini dengan melihat data
dari hasil Stanford Achievement Test terhadap populasi tunarungu (kategori Hearing‑Impaired)
pada tahun 1974 dan 1983. Skor tersedia dari usia 8 hingga 18 tahun, dan dia
menemukan bahwa dari tahun 1974 hingga 1983 skor membaca sampel tunarungu itu
meningkat setiap tahun.
Walker dan Rickards (1992) di Victoria, Australia, juga telah memperoleh data
yang menunjukkan bahwa anak tunarungu tertentu lebih baik hasilnya pada tes
baku prestasi membaca daripada yang dilaporkan sebelumnya.
Terus meningkatnya skor tes membaca anak tunarungu ini mungkin disebabkan oleh
metode pengajaran membaca yang lebih baik. Argumen ini didukung oleh Ewoldt
(1981) yang menemukan bahwa proses yang dipergunakan oleh anak tunarungu dalam
membaca sama dengan yang dipergunakan oleh anak yang dapat mendengar, dan bahwa
bila membaca mereka ditelaah menggunakan teknik yang tepat, ternyata mereka
dapat lebih banyak memahami apa yang dibacanya.
2. Bahasa tulis
Dalam hal bahasa tulis, terdapat juga cukup banyak bukti bahwa anak tunarungu
mengalami kesulitan untuk mengekspresikan dirinya secara tertulis. Dalam beberapa
penelitian yang berfokus pada ketepatan sintaksis bahasa Inggris tertulis anak
tunarungu, ditemukan bahwa mereka cenderung menggunakan banyak frase yang sama
secara berulang-ulang dalam kalimat sederhana, lebih sedikit kalimat majemuk,
dan mereka membuat banyak kesalahan kecil dalam penggunaan tenses, kata
bilangan, penggunaan kata ganti dan kata penunjuk, dll. Menjelang usia 12
tahun, mereka cenderung dapat menguasai penulisan kalimat-kalimat sederhana,
tetapi bila mereka mencoba menulis kalimat yang lebih kompleks,
kesalahan-kesalahan kecil muncul lagi. Akan tetapi, belum ada laporan hasil
penelitian tentang tingkat keterbacaan tulisan anak tunarungu, tetapi jika
penyimpangan-penyimpangan dalam sintaksis diabaikan, bahasa tulis kebanyakan
anak tunarungu dapat dimengerti dengan mudah, sehingga penggunaan bahasa
tulisnya (yang sering mereka pergunakan untuk berinteraksi dengan orang yang
dapat mendengar) biasanya dapat memungkinkan mereka berfungsi dengan cukup baik
dalam kehidupan sehari-hari.
Perlu juga diketahui bahwa terdapat sejumlah orang tunarungu, termasuk yang
ketunarunguannya berat sekali, yang dapat mencapai tingkat kemampuan membaca
dan menulis yang normal.
3. Ujaran (Speech)
Banyak penelitian yang telah dilakukan tentang keterpahaman ujaran anak
tunarungu pada berbagai tingkatan ketunarunguannya. Keterpahaman ujaran
individu tunarungu bervariasi dari hampir normal hingga tak dapat dipahami sama
sekali, kecuali oleh mereka yang mengenalnya dengan baik.
Hasil penelitian yang terkenal adalah yang dilakukan oleh Hudgins dan Numbers
(1942), yang menganalisis ujaran 192 anak tunarungu berat dan berat sekali.
Mereka menemukan bahwa kekurarngan dalam ujaran anak-anak ini adalah dalam hal
ritme dan pemengalan frasa, suaranya agak monoton dan tidak ekspresif, dan
tidak dapat menghasilkan warna suara yang alami. Mereka juga menemukan
bermacam-macam kesalahan artikulasi pada bunyi-bunyi ujaran tertentu (kesalahan
artikulasi vokal biasanya lebih sering daripada konsonan). Hudgins dan Numbers
menemukan bahwa kurang dapat dipahaminya ujaran individu tunarungu itu lebih
banyak diakibatkan oleh tidak normalnya ritme dan pemenggalan frasa daripada
karena kesalahan artikulasi.
Terdapat tiga cara utama individu tunarungu mengakses bahasa, yaitu dengan
membaca ujaran, dengan mendengarkan (bagi mereka yang masih memiliki sisa
pendengaran yang fungsional), dan dengan komunikasi manual, atau dengan
kombinasi ketiga cara tersebut.
a. Mengakses Bahasa Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)
Hanya sekitar 50% bunyi ujaran bahasa Inggris dapat terlihat pada bibir
(Berger, 1972). Di antara 50% lainnya, sebagian dibuat di belakang bibir yang
tertutup atau jauh di bagian belakang mulut sehingga tidak kelihatan, atau ada
juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga pembaca bibir tidak
dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat menyulitkan bagi
mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa. Seseorang dapat
menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan yang baik
tentang struktur bahasa sehingga dapat membuat dugaan yang tepat mengenai
bunyi-bunyi yang "hilang" itu. Jadi orang tunarungu yang bahasanya
normal biasanya merupakan pembaca ujaran yang lebih baik daripada tunarungu
prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang non-tunarungu tanpa latihan
dapat membaca bibir lebih baik daripada orang tunarungu yang terpaksa harus
bergantung pada cara ini (Ashman & Elkins, 1994).
b. Mengakses Bahasa Melalui Pendengaran
Meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang dapat
dikenali oleh tunarungu berat secara cukup baik untuk memungkinkannya
memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur sintaksis dan fonologi bahasa
itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa penyandang ketunarunguan yang
berat sekali tidak dapat memperoleh manfaat dari bunyi yang diamplifikasi. Yang
menjadi masalah besar dalam hal ini adalah bahwa individu tunarungu jarang
dapat mendengarkan bunyi ujaran dalam kondisi optimal. Faktor-faktor tersebut
mengakibatkan individu tunarungu tidak dapat memperoleh manfaat yang maksimal
dari alat bantu dengar yang dipergunakannya. Di samping itu, banyak penelitian
menunjukkan bahwa sebagian besar alat bantu dengar yang dipergunakan individu
tunarungu itu tidak berfungsi dengan baik akibat kehabisan batrai dan earmould
yang tidak cocok.
c. Mengakses Bahasa Melalui Isyarat Tangan
Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa bahasa isyarat yang baku
memberikan gambaran lengkap tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga mereka
perlu mempelajarinya dengan baik. Akan tetapi tidak semua siswa tunarungu
menggunakan bahasa isyarat, terutama yang pengajarannya menggunakan metode
oral/aural.
B. Bahasa dan Kognisi
Hal yang telah lama diperdebatkan dalam bidang pendidikan bagi anak
tunarungu adalah apakah ketunarunguan mengakibatkan kelambatan dalam
perkembangan kognitif dan/atau perbedaan dalam struktur kognitif (berpikir)
individu tunarungu; ini mungkin karena dampaknya terhadap perkembangan bahasa.
Sekurang-kurangnya sejak masa Aristotle, orang tunarungu dianggap sebagai tidak
mampu bernalar. Pada zaman modern argumen ini mulai dengan munculnya gerakan
pengetesan inteligensi selama dan sesudah Perang Dunia I. Dalam tes kelompok
yang menggunakan kertas dan pensil yang dilakukan oleh Rudolf Pintner dan
lain-lain, dan kemudian dengan tes inteligensi individual, pada umumnya
menemukan bahwa subyek tunarungu sangat rendah dalam inteligensinya, dengan IQ
rata-rata pada kisaran 60-an atau bahkan 50-an. Akan tetapi, kemudian disadari
bahwa meskipun skor tes yang rendah itu dapat mencerminkan adanya defisit
bahasa pada individu tunarungu dan akibatnya sering berkurang pula
pengetahuannya tentang hal-hal yang ditanyakan dalam tes IQ, tetapi skor
tersebut belum tentu mencerminkan kapasitas individu tunarungu yang sesungguhnya
bila masalah bahasanya dapat diatasi. Perkembangan alat-alat tes sesudah Perang
Dunia II yang memisahkan antara elemen verbal dan kinerja (performance) dalam
item-item tes inteligensi, menunjukkan bahwa meskipun rata-rata skor tes
verbalnya sekitar 60, yang mencerminkan defisit bahasa testee, tetapi skor
rata-rata hasil tes kinerjanya pada umumnya berada pada kisaran normal, baik
dalam mean-nya maupun distribusinya, bila subyek tunarungu itu tidak menyandang
ketunaan lain. Akan tetapi, kini terdapat kecenderungan meningkatnya jumlah
populasi tunarungu yang menyandang ketunaan tambahan, sebagai akibat dari
meningkatnya kemajuan dalam bidang kedokteran, sehingga bayi tunarungu yang
menyandang ketunagandaan dapat bertahan hidup (Moores, 1987). Akibatnya, secara
kelompok, skor tes inteligensi individu tunarungu menjadi lebih rendah.
Akhir-akhir ini, minat para ahli bergeser dari masalah tingkat rata-rata
inteligensi individu tunarungu secara umum serta distribusinya ke masalah
struktur kognitifnya dan ke masalah apakah berpikir itu dapat dilakukan tanpa
bahasa. Yang paling menonjol dalam bidang ini adalah Hans Furth, yang karyanya
dituangkan dalam bukunya yang berjudul Thinking Without Language (1966).
Sebagai hasil dari banyak penelitian yang dilakukannya, Furth menyimpulkan
bahwa defisit bahasa tidak merintangi orang tunarungu untuk berpikir secara
normal, karena bila dia mengontrol pengaruh bahasa terhadap sejumlah besar
tugas kognitif, ditemukannya bahwa kinerja subyek tunarungu sedikit sekali
perbedaannya dengan sebayanya yang non-tunarungu. Jika perbedaan itu muncul,
dia berpendapat bahwa hal itu diakibatkan oleh kurangnya pengalaman atau tidak
dikenalnya tugas-tugas atau konsep-konsep yang diujikan, bukan karena defisit
kognitif secara umum akibat ketunarunguan dan/atau akibat defisit bahasa. Furth
dan rekan-rekan penelitinya menunjukkan bahwa ketunarunguan semata tidak
berpengaruh terhadap penalaran, ingatan ataupun variabel-variabel kognitif
lainnya.
Oleh: