Senin, 24 September 2012

ANALISIS BUKU: PESANTREN MASA DEPAN, EKSISTENSI PESANTREN DI TENGAH GELOMBANG MODERNISASI



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pesantren atau pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional tertua di Indonesia. Oleh karena itu, istilah “pesantren” terutama salafiyah, seakan bukan sesuatu yang asing di telinga masyarakat kita. Menurut Nurcholis Madjid, secara histori pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman tetapi juga mengandung makna keaslian (indigenous) Indonesia[1]. Karena, sebelum datangnya Islam ke Indonesia pun, lembaga serupa pesantren ini sudah ada di Indonesia dan Islam tinggal meneruskan, melestarikan dan mengislamkannya. Jadi pesantren merupakan hasil penyerapan akulturasi kebudayaan Hindu-Budha dan kebudayaan Islam kemudian menjelma menjadi suatu lembaga yang kita kenal sebagai pesantren sekarang ini.
Sesuai dengan Keputusan bersama Dirjen Binbaga Islam Depag dan Dirjen Dikdasmen Depdiknas Nomor : E/83/2000 dan Nomor : 166/C/Kep/DS/2000 tentang Tentang Pedoman Pondok Pesantren Salafiyah, Pondok Tradisional yang dalam bahasa sering di sebut sebagai Pesantren Salafiyah adalah salah satu tipe pondok pesantren yang menyelenggarakan pengajaran pengajian Al Qur’an dan kitab kuning secara berjenjang atau madrasah Diniyah yang kegiatan pendidikan dan pengajarannya menggunakan kurikulum khusus pondok pesantren.[2]
Akar-akar historis keberadaan pesantren di Indonesia dapat di lacak jauh ke belakang, yaitu pada masa-masa awal datangnya Islam di bumi Nusantara ini dan tidak diragukan lagi pesantren intens terlibat dalam proses islamisasi tersebut. Sementara proses islamisasi itu, pesantren dengan canggihnya telah melakukan akomodasi dan transformasi sosio-kultural terhadap pola kehidupan masyarakat setempat. Oleh karena itu, dalam prespektif historis, lahirnya pesantren bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan akan pentingnya pendidikan, tetapi juga untuk penyiaran agama Islam. Menurut M. Dawam Raharjo, hal itu menjadi identitas pesantren pada awal pertumbuhannya, yaitu sebagai pusat penyebaran agama Islam, disamping sebagai sebuah lembaga pendidikan[3].
Pesantren sebagai pranata pendidikan ulama (intelektual) pada umumnya terus menyelenggarakan misinya agar umat menjadi tafaqquh fiddin dan memotifasi kader ulama dalam misi dan fungsinya sebagai warasat al anbiya. Hal ini terus di pertahankan agar pesantren tidak tercerabut dari akar utamanya yang telah melembaga selama ratusan tahun.
Pada era yang modern ini, terdapat beberapa kubu kontradiktif yang menanggapi kemampuan pesantren dalam mempertahankan eksistensinya ditengah-tengah  gelombang modernisasi dan globalisasi saat ini. Sebagian diantaranya bersikap pesimistis dan sebagian lainnya bersifat optimistis.[4] Namun, terlepas dari kontra persepsi tersebut, realitas menunjukkan bahwa pesantren salafiyah ternyata sampai hari ini tetap dapat bertahan (survive) dengan identitasnya sendiri. Bahkan akhir-akhir ini para pengamat dan praktisi pendidikan dikejutkan dengan tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan pondok pesantren yang bermunculan di kota-kota besar. Di samping banyak juga pendidikan umum yang mengadopsi aspek-aspek tertentu dari sistem pendidikan pesantren seperti yang di lakukan oleh SMU Madania di Parung, SMU Insan Cendekia-nya BPPT (sekarang MA Unggulan-nya Departemen Agama RI) di Serpong. Assalam di Surakarta, Ketiganya mengadopsi sistem asrama dengan menyebutnya “boarding school”. Sistem”boarding” tentu saja merupakan salah satu karakteristik dasar sistem pendidikan pesantren.
Kemampuan pesantren dalam mempertahankan dan pengembangkan program pendidikannya hingga saat ini menandakan masih tersisa masalah empiric maupun teoritik. Permasalahan empiric terkait dengan realitas pesantren salafiyah yang tidak terlepas dari kepercayaan dan dukungan masyarakat ( stake holders) khususnya wali santri. Kepercayaan dan dukungan tersebut tercermin dalam tindakan wali santri memasukkan anak ke pesantren. Adapun secara teoritis, butuh pertimbangan yang dalam meliputi keragaman motif wali santri khususnya interpretasi wali santri atas pesantren salafiyah dalam keputusannya memasukkan anak ke pesantren. [5]
Sulaiman (22: 2010) dalam bukunya Masa depan pesantren, Eksistensi pesantren di tengah gelombang modernisasi yang diketahui sebagai laporan disertainya pada Program Pascasarjana Universitas Brawijaya ini, menganggap bahwa keurgenan meneliti motif dan tindakan wali santri sebagai stake holder dalam memasukkan anak ke lembaga pesantren dengan harapan teori-teori tersebut dapat dijadikan alat kupas dan mengkritisi persepsi-persepsi yang terlalu optimistis maupun pesimistis terhadap eksistensi pesantren salafiyah di tengah arus modernisasi.
Dan seperti harapan penulis pada umumnya, Sulaiman berharap melalui hasil penelitiannya, mampu memberikan kontribusi yang diharapkan oleh komunitas pesantren yaitu pemantapan nilai-nilai yang mendasari kokohnya kepercayaan, pengakuan dan kepedulian terhadap pesantren. Harapan lain adalah dapat digunakannya sebagai dasar dan pijakan pertimbangan penyusunan kebijakan yang terkait dengan posisi dan peran strategis pesantren dengan wali santri sebagai agen dalam pembangunan masyarakat (bottom-up innovation).  Hal ini sangat bertolak secara empiris yang inovasi dan kebijakan pesantren khususnya salafiyah selalu lahir dari pemerintah (top-down innovation) yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana eksistensi pesantren salafiyah di tengah gelombang modernisasi?
2.      Bagaimana makna tindakan wali santri dalam memasukkan anak ke pesantren salafiyah?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengkaji eksistensi pesantren salafiyah di tengah gelombang modernisasi
2.      Untuk menganalisa makna tindakan wali santri dalam memasukkan anak ke pesantren salafiyah

D.    Definisi Operasional Variabel
1.      Pesantren
Kajian “pesantren” dalam buku ini dalam Sulaiman (5:2010) adalah pesantren salafiyah (tradisional) yaitu pesantren yang masih terikat kuat oleh tradisi-tradisi lama yang mempunyai karakteristik:
a.       System pengelolaan pendidikan cenderung berada ditangan kyai sebagai pemimpin sentral
b.      Hanya mengajarkan pengetahuan agama
c.       Materi pendidikan bersumber dari kitab-kitab kuning
d.      Menggunakan system pendidikan tradisional: weton/bandongan dan sorogan
e.       Hubungan antara kyai, ustad dan santri bersifat hirarkiskehidupan santri cenderung bersifat komunal dan egaliter

2.      Modernisasi
Dalam buku ini, yang dimaksud dengan “Modernisasi” adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta dinamika perkembangan masyarakat yang sangat pesat sehingga memunculkan tuntutan-tuntutan baru dalamberbagai bidang, khususnya bidang pendidikan (Sulaiman, 3:2010).

3.      Makna tindakan wali santri
Dalam buku ini (Sulaiman, x:2010), “makna tindakan wali santri” adalah makna tindakan wali santri dalam memasukkan anak di pesantren salafiyah. Adapun variasi tipe tindakan dilihat dari:
a.       Kadar rasionalitas mereka
b.      Bentuk tindakan dalam penentuan pilihan pendidikan bagi anak-anak mereka
c.       Nilai-nilai yang menjadi orientasi tindakan mereka


E.     Study Pustaka
Sejak paruh abad ke 20 hingga hari ini, sosok dan dunia pesantren telah menarik perhatian para akademisi untuk dijadikan bahan studi dan fokus telaah ilmiahnya dan telah terbit sejumlah karya tulis-karya tulis tentang pesantren di kaji dari berbagai sudutnya. Berkaitan dengan fokus kajian penelitian ini yakni tentang pesantren dan eksistensinya dalam modernisasi dan motivasi wali santri memasukkan anaknya ke pesantren, berikut ini dipaparkan beberapa studi lain sebgai acuan antara lain :
Mastuhu yang yang berjudul Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Dalam kajian ini Mastuhu berusaha meningkatkan gerak perjuangan pesantren didalam memantapkan identitas dan kehadirannya ditengah-tengah kehidupan bangsa yang sedang membangun ini. Menurutnya, pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam harus dapat menjadi salah satu pusat studi pembaharuan pemikiran Islam. Untuk itu, ia berusaha menemukan butir-butir positif dari sistem pendidikan pesantren yang kiranya berlu dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional, dan butir-butir negatif yang kiranya tidak perlu lagi dikembangkan karena tidak sesuai lagi dengan tantangan zamannya, serta butir-butir mana dari sistem pendidikan pesantren yang sekiranya perlu di perbaiki lebih dahulu sebelun dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional dan system pendidikan pesantren dalam menyongsong masa depannya.[6]
Dengan meneliti 6 pesantren, ia menggunakan pendidikan sosiologis-antropologis dan fenomenologis dengan harapan dapat menembus tabir rahasia nilai-nilai kehidupan pesantren sehingga dapat mengembangkannya dalam sistem pendidikan nasional.
Study tentang makna tindakan memasukkan anak ke pesantren salafiyah dalam buku ini melengkapi dan memperjelas tesis Weber (dalam Ritzer, 997, Cohen dalam Burrell dan Morgan, 1979) bahwa actor memiliki alas an dan tujuan dalam melakukan setiap tindakan, dan untuk mencapai tujuan itu mereka menggunakan cara atau alat tertentu.[7] Hasil penelitian ini juga melengkapi dan memperjelas tesis hasil tesis Geertz dan Mulder (1983; Suseno, 1999) tentang pengaruh nilai budaya, khususnya budaya Jawa, tentang penghormatan dan penampilan social yang harmonis.[8]




BAB III
PEMBAHASAN
A.    Perkembangan Pesantren
Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, pendidikan Islam merupakan kepentingan tinggi bagi kaum muslimin. Tetapi hanya sedikit sekali yang dapat kita ketahui tentang perkembangan pesantren di masa lalu, terutama sebelum Indonesia dijajah Belanda, karena dokumentasi sejarah sangat kurang. Bukti yang dapat kita pastikan menunjukkan bahwa pemerintah penjajahan Belanda memang membawa kemajuan teknologi ke Indonesia dan memperkenalkan sistem dan metode pendidikan baru. Namun, pemerintahan Belanda tidak melaksanakan kebijaksanaan yang mendorong sistem pendidikan yang sudah ada di Indonesia, yaitu sistem pendidikan Islam. Malah pemerintahan penjajahan Belanda membuat kebijaksanaan dan peraturan yang membatasi dan merugikan pendidikan Islam. Ini bisa kita lihat dari kebijaksanaan berikut.
Pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah. (Dhofier 1985:41, Zuhairini 1997:149)
Peraturan-peraturan tersebut membuktikan kekurangadilan kebijaksanaan pemerintah penjajahan Belanda terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Namun demikian, pendidikan pondok pesantren juga menghadapi tantangan pada masa kemerdekaan Indonesia. Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan sekolah umum seluas-luasnya dan membuka secara luas jabatan-jabatan dalam administrasi modern bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah umum tersebut.. Dampak kebijaksanaan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di Indonesia menurun. Ini berarti bahwa jumlah anak-anak muda yang dulu tertarik kepada pendidikan pesantren menurun dibandingkan dengan anak-anak muda yang ingin mengikuti pendidikan sekolah umum yang baru saja diperluas. Akibatnya, banyak sekali pesantren-pesantren kecil mati sebab santrinya kurang cukup banyak  (Dhofier 1985:41).
Jika kita melihat peraturan-peraturan tersebut baik yang dikeluarkan pemerintah Belanda selama bertahun-tahun maupun yang dibuat pemerintah RI, memang masuk akal untuk menarik kesimpulan bahwa perkembangan dan pertumbuhan sistem pendidikan Islam, dan terutama sistem pesantren, cukup pelan karena ternyata sangat terbatas. Akan tetapi, apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah pertumbuhan pendidikan pesantren yang kuatnya dan pesatnya luar biasa. Seperti yang dikatakan Zuhairini (1997:150), ternyata “jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik” di Indonesia.
Menurut survai yang diselenggarakan kantor Urusan Agama yang dibentuk oleh Pemerintah Militer Jepang di Jawa tahun 1942 mencatat jumlah madrasah, pesantren dan murid-muridnya seperti terlihat berikutnya dalam Tabel 1:

TABEL 1: Jumlah pesantren, madrasah dan santri di Jawa dan Madura pada tahun 1942 (Survai kantor Urusan Agama)

Propinsi Daerah
Jumlah Pesantren dan Madrasah
Jumlah Santri
Jakarta
167
14 513
Jawa Barat
1 046
69 954
Jawa Tengah
351
21 957
Tawa Timur
307
32 931
Jumlah:
1 871
139 415
(Dhofier, 1985:40)







TABEL 2: Jumlah pesantren dan santri di Jawa pada tahun 1978. (Laporan Departement Agama RI)
   Propinsi Daerah
Jumlah Pesantren
Jumlah Santri
Jakarta
27
15 767
Jawa Barat
2 237
305 747
Jawa Tengah
430
65 070
Tawa Timur
1 051
290 790
Jumlah:
3 745
675 364
                                                                              (Hasbullah, 1999:140)

Dalam Tabel 2, dapat kita melihat bahwa hampir empat dasawarsa kemudian, jumlah pesantren di Jawa telah bertambah kurang lebih empat kali. Statistik dari Tabel 2, yang dikumpulkan dari laporan Departemen Agama RI pada tahun 1978 yang mengenai keadaan pesantren di Jawa, menunjukkan bahwa sistem pendidikan pesantren di Jawa dipelihara, dikembangkan dan dihargai oleh masyarakat umat Islam di Indonesia. Kekuatan pondok pesantren dapat dilihat dari segi lain, yaitu walaupun setelah Indonesia merdeka telah berkembang jenis-jenis pendidikan Islam formal dalam bentuk madrasah dan pada tingkat tinggi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), namun secara luas, kekuatan pendidikan Islam di Jawa masih berada pada sistem pesantren (Dhofier 1985:20). Dari data-data tersebut harus kita bertanya, bagaimana eksistensi pesantren dalam arus Modernisasi dan Globalisasi saat ini?

B.     Eksistensi Pesantren dalam Modernisasi
Modernisasi di manapun telah mengubah berbagai tatanan dan lembaga tradisional (pesantren). Salah satu di antaranya adalah semakin pudarnya fungsi lembaga Islam. Pudarnya fungsi lembaga keagamaan tradisional dalam kehidupan modern merupakan penjelas perubahan posisi sosial, ekonomi dan politik elite Muslim yang dibangun di atas kekuasaan dan legitimasi keagamaannya. “Pemikiran Islam kontemporer merupakan upaya elite muslim memperoleh legitimasi agama atas posisi sosial, ekonomi dan politiknya dalam lembaga sekuler.” [9]
Munculnya kesadaran di kalangan pesantren dalam mengambil langkah-langkah pembaharuan untuk menjawab tantangan dan kebutuhan transformasi sosial. Misalnya timbul pembaharuan kurikulum dan kelembagaan pesantren yang berorientasi pada kekinian sebagai respon dari modernitas. Bagi penulis perlu dikaji ulang gagasan tersebut, sebab bukan tidak mungkin orientasi semacam itu akan menimbulkan implikasi negatif terhadap eksistensi dan fungsi pokok pesantren. “Pesantren harus menumbuhkan apresiasi yang sepatutnya terhadap semua perkembangan yang terjadi di masa kini dan mendatang, sehingga dapat memproduksi ulama yang berwawasan luas.”[10]
Walaupun-walaupun pesantren sudah banyak yang mengadakan perubahan-perubahan mendasar, namun Zamaksyari Dhofier menilai perubahan tersebut masih sangat terbatas. Menurutnya ada dua alasan utama yang menyebabkan, yaitu pertama, para kyai masih mempertahankan dasar-dasar tujuan pendidikan pesantren, yaitu bahwa pendidikan pada dasarnya ditujukkan untuk mempertahankan dan menyebarkan Islam. Kedua, mereka belum memiliki staf sesuai dengan kebutuhan pembaharuan untuk mengajarkan cabang-cabang pengetahuan umum.[11]
Hasyim Muzadi menambahkan dalam menghadapi realitas kekinian, kita tidak harus skeptis dalam menerapkan metodologi dan tidak usah mengacak-acak modernitas, atas nama keharusan perubahan itu sendiri. Tradisi menjadikan agama bercokol dalam masyarakat harus lebih kreatif dan dinamis sebab mampu bersenyawa dengan aneka ragam unsur kebudayaan. Sedangkan modernitas tetap perlu guna terobosan-terobosan baru di bidang pemikiran atau IPTEK tidak sampai tersandung. “Maka harus ada kesesuaian antara penguasaan materi agama dengan kemampuan nalar, sehingga ada sinergi antar keduanya, jangan sampai doktrin agama dimaknai secara sempit.”[12]
Aliran modernis menuntut persinggungan yang intens dengan teknologi dan perkembangan informasi sehingga pesantren ini mengharapkan lahirnya pribadi yang moderat, pribadi berhaluan tengah dan open minded. Sementara aliran kitab kuning –dinisbatkan pada aliran tradisional– menuntut santrinya untuk tetap berkutat pada matan hadis maupun ilmu fiqih klasik serta mempertahankan keaslian dalil-dalil yang ada. Sehingga –menurut sebagian masyarakat- karakter yang terbina dari pesantren salaf cenderung konservatif, kolot, bersikap serta berusaha mempertahankan keadaan, tradisi, kebiasaaan dan berkarakter ekstrim.
Banyak pesantren modern mengesampingkan aspek ruhiyah, lembaga ini seakan lupa tujuan pertama sebuah pembelajaran, taqarrub ilallah. Maka menjadi suatu pengalaman berharga bagi para pengasuh pesantren modern, bila tidak ingin santri-santrinya hanya memahami ajaran Islam kulitnya saja, untuk lebih memperhatikan masalah ini.
Menurut Muhammad Ali, Direktur Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama, “Menghadapi era Teknologi Informasi (TI) seperti sekarang ini, santri harus menguasai teknologi. Santri tidak boleh gagap teknologi. Pasalnya, bila tertinggal dalam penguasaan teknologi, akan ditinggal juga,” ketika ia memberikan sambutan pada peserta Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) di Pondok Pesantren Al Hikmah 2, Benda, Kecamatan Sirampog, Brebes, Jawa Tegah, Kamis (11/12/08) lalu. Memang, sepintas apa yang ia katakan dapat dibenarkan. Namun internet tetaplah sebuah pisau bermata dua. Di satu sisi, internet berbahaya kalau disalahgunakan, misalnya menyangkut masalah pornografi. Namun di sisi lain, bila dipergunakan dengan baik, internet juga menawarkan peluang dan memberikan manfaat yang sangat banyak, termasuk dalam bidang dakwah.
Menjadi generasi nyleneh, mungkin itulah bahaya terbesar yang dijauhi pesantren salaf. Dengan masuknya internet, berarti meresap pula ke dalamnya segala jenis pemikiran, yang ditakutkan tentunya dapat melahirkan generasi yang tidak diharapkan. Melihat tuntutan masyarakat dan faktor utama kegagalan pesantren khalaf, akibat mengesampingkan faktor ruhiyah, mestinya kekurangan ini menjadi modal yang sangat berharga bagi pesantren salaf, pesantren yang tidak mau dan tidak akan mengesampingkan faktor ruhiyah, yang emoh dengan perkembangan, untuk kembali merajut kejayaannya. Biar bagaimanapun teknologi semakin tidak bisa dipisahkan dari seseharian kita. Kegagalan memanfaatkan sebuah teknologi yang dialami oleh sebagian penikmat kemajuan, sudah waktunya tidak membuat pesantren ketakutan. Yang terpenting, bagaimana pesantren mampu untuk mempertahankan kesalafan tanpa harus terbendung segala kemajuan.
Arus globalisasi telah mempengaruhi segalanya dan merupakan tantangan tersendiri yang harus dihadapi oleh pesantren yaitu bagaimana  merespon segala perubahan yang terjadi di dunia luarnya tanpa merubah dan meninggalkan identitas pesantren itu sendiri. Sehingga pesantren tetap eksis di tengah-tengah masyarakat modern.

C.    Makna Tindakan Wali Santri
Wali  adalah  orang  tua  ayah  atau  ibu  (Al  Barry,  1994:  782), sedangkan santri adalah murid pesantren  atau calon rohaniawan Islam (Al Barry, 1994: 693). Jadi,  wali santri yaitu orang tua atau wakil orang tua dari murid pesantren atau rohaniawan Islam.
Berdasarkan uraian di atas yang dimaksud dengan wali santri dalam buku  Masa depan pesantren, Eksistensi pesantren di tengah gelombang modernisasi ini  adalah orang tua ayah atau ibu dari murid Pondok Pesantren Salafiyah. Sedangkan yang dimaksud dengan tindakan wali santri adalah tindakan wali santri dalam memondokkan anak dengan beragam makna. Hal tersebut sangat ditentukan oleh latar belakang social-budaya dan social-ekonominya. Makna tindakan mereka akan tampak dari:
1.      Motif wali santri memasukkan anaknya ke pesantren salafiyah
a.       Adanya pengakuan akan kesalafiyahan pesantren
b.      Pengelolaan pesantren yang baik dan sistematis
c.       Program pendidikan yang beragam dan aplikatif
d.      Kedisiplinan pesantren
e.       Kharisma kyai
f.       Keberhasilan alumni
g.      Penghindaran pengaruh negative teman sebaya
h.      Pemertahanan tradisi keluarga
i.        Pemertahanan status social
2.      Kadar rasionalitas wali santri
Dilihat dari kadar rasionalitasnya, tindakan memasukkan anak ke pesantren dapat dikelompokkan dalam beberapa tipe:
a.       Tindakan tradisional
Tipe tindakan tradisional tercermin dari alas an memondokkan anak sebagai upaya pelestarian tradisi keluarga
b.      Tindakan afektif
Tindakan afektif tampak dari motif tindakan mereka sebagai bentuk penghormatan terhadap pesantren dan charisma kiai, serta system pendidikan pesantren yang berciri salafiyah.
c.       Tindakan berorientasi nilai
Tipe ini tergambar dari motif tindakan mereka sebagai upaya yang diyakini akan dapat memberikan kemudahan dalam berusaha dan memecahkan masalah-masalah kehidupan, lantaran keberkahan ilmu yang diperoleh di pesantren.


















BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian

1.  Jenis Penelitian

Jenis  penelitian  ini  merupakan  penelitian  diskriptitf  kualitatif  yaitu penelitian tentang data yang dikumpulkan dan dinyatakan dalam bentuk kata- kata dan gambar,  kata-kata disusun dalam kalimat, misalnya kalimat hasil wawancara antara peneliti dan  informan. Penelitian kualitatif bertolak dari filsafat  konstruktivisme  yang  berasumsi  bahwa  kenyataan  itu  berdimensi jamak,      interaktif dan      suatu pertukaran          pengalaman sosial  yang diinterpretasikan oleh individu-individu. Penelitian kualitatif ditujukan untuk memahami   fenomena-fenomena   sosial   dari   sudut   perspektif   partisipan. Partisipan adalah orang-orang yang diajak berwawancara, diobservasi, diminta memberikan data, pendapat, pemikiran, persepsinya (Sukmadinata, 2006: 94).
Penelitian   ini   menggunakan   pendekatan   kualitatif,   yaitu   berusaha mendapatkan  informasi  yang  selengkap  mungkin mengenai  motif tindakan wali santri memasukkan anak di pesantren. Informasi yang digali lewat wawancara mendalam terhadap informan (Wali santri).  Teknik   kualitatif  dipakai  sebagai  pendekatan  dalam penelitian ini, karena teknik ini untuk  memahami realitas rasional sebagai realitas subjektif khususnya wali santri. Proses observasi dan wawancara mendalam bersifat sangat utama dalam  pengumpulan data. Dari observasi diharapkan mampu menggali dampak pengambilan keputusan wali santri dalam memasukkan anaknya ke pesantren salafiyah.

2.  Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi. Karena terkait langsung  dengan gejala-gejala yang muncul di sekitar lingkungan manusia terorganisasir dalam satuan pendidikan formal.Penelitian yang menggunakan pendekatan fenomenologis berusaha  untuk memahami makna peristiwa serta interaksi pada orang-orang dalam situasi tertentu Pendekatan ini menghendaki adanya sejumlah asumsi yang berlainan dengan cara yang  digunakan untuk mendekati perilaku orang dengan maksud  menemukan faktaatau penyebab.
Penyelidikan  fenomenologis  bermula  dari  diam.  Keadaan  diam” merupakan  upaya menangkap apa yang dipelajari dengan menekankan pada aspek-aspek  subjektif dari  perilaku  manusia.  Fenomenologis  berusaha bisa masuk  ke  dalam  dunia  konseptual   subjek  nya   agar  dapat  memahami bagaimana dan apa makna yang disusun subjek  tersebut dalam kehidupan sehari-harinya.
Singkatnya, peneliti berusaha memahami subjek dari sudut pandang subjek itu  sendiri, dengan tidak mengabaikan membuat penafsiran, dengan membuat  skema  konseptual.  Peneliti  menekankan  pada  hal-hal  subjektif, tetapi  tidak  menolak  realitas  di  sana yang  ada  pada  manusia  dan  yang mampu menahan tindakan terhadapnya. Para  peneliti kualitatif menekankan pemikiran subjektik karena menurut  pandangannya dunia itu dikuasai oleh angan-angan yang mengandung hal-hal yang lebih bersifat simbolis dari pada konkret. Jika peneliti menggunakan perspektif fenomenologi dengan paradigma definisi sosial biasanya penelitian ini bergerak pada kajian mikro.
Paradigma definisi sosial ini akan memberi peluang individu sebagai subjek penelitian (informan penelitian) melakukan interpretasi, dan kemudian peneliti melakukan interpretasi terhadap interpretasi itu sampai mendapatkan makna yang berkaitan dengan pokok masalah penelitian.












BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan

Pada era yang modern ini, terdapat beberapa kubu kontradiktif yang menanggapi kemampuan pesantren dalam mempertahankan eksistensinya ditengah-tengah  gelombang modernisasi dan globalisasi saat ini. Sebagian diantaranya bersikap pesimistis dan sebagian lainnya bersifat optimistis. Namun, terlepas dari kontra persepsi tersebut, realitas menunjukkan bahwa pesantren salafiyah ternyata sampai hari ini tetap dapat bertahan (survive) dengan identitasnya sendiri. Hal itu dikarenakan pesantren salafiyah telah memperoleh kepercayaan dan dukungan masyarakat pengguna (stake holder), melalui dukungan dan inisiatif wali santri dalam memasukkan anaknya dipesantren salafiyah.
Secara ringkas makna tindakan wali santri memasukkan anak mereka ke pesantren salafiyah dapat dikategorikan menjadi:
1.      Pemahaman identitas kesantrian yang dipahami dari penggunaan symbol-simbol keagamaan, keaktifan dalam menunaikan kewajiban-kewajiban agama, penggunaan pakaian (baju, kopiah dan sarung) dalam kehidupan sehari-hari dan sebagainya.
2.      Pelestarian tradisi tampak dalam pola sikap dan pola tindak wali santri, khususnya dalam tindakan memasukkan anak mereka ke pesantren salafiyah yang cenderung mengikuti tradisi keluarga.
3.      Penguatan lembaga pesantren yang muncul dalam bentuk keyakinan dan kepercayaan terhadap keberhasilan pendidikan pesantren dalam mendidik anak-anak mereka.










DAFTAR PUSTAKA

Burrell, Gibson dan Morgan, Gareth. 1994. Sociological Paradigsm And Organisational Analysis. Ashgate Publishing Company. Brookfield
Dhofier, Zamakhsyari. 1994.  Tradisi Pesantren, Studi Tentang  Pandangan Hidup Kyai .Jakarta : LP3ES
Madjid, Nurcholish. 1997. Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta : Paramadina
Mastuhu. 1989. Dinamik Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur Nilai Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS
Mulkan, Abdul Munir. 1993.  Paradigma Intelektual Muslim, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah. Yogyakarta :SIPRESS
Muzadi, Hasyim. 1999. Nahdlatul Ulama, di Tengah Agenda Persoalan Bangsa . Jakarta : Logos
Raharjo, Dawam.1985. Perkembangan Masyarakat dalam Perspektif Pesantren. Jakarta : P3M
Sulaiman, In’am. Masa depan pesantren, Eksistensi pesantren di tengah gelombang modernisasi Malang: Madani
Suseno, Franz Magnis. 1999. Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijakan hidup jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Wahab, Abdul.  Analisis Kebijaksanaan dari  Formulasi  ke Implementasi Kebijakan Negara, Jakarta: Bumi Aksara.




[1] Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan, Cet. 1 (Jakarta : Paramadina, 1997), hal.3

[2] Abdul Wahab,  Analisis Kebijaksanaan dari  Formulasi  ke Implementasi Kebijakan Negara, Jakarta: Bumi Aksara, 1997.

[3] M. Dawam Raharjo, “Perkembangan Masyarakat dalam Perspektif Pesantren”, Pengantar dalam M. Dawam Raharjo (ed), Pergaulan Dunia Pesantren : Membangun dari Bawah (Jakarta : P3M, 1985), hal. vii.
[4] In’am Sulaiman, Masa depan pesantren, Eksistensi pesantren di tengah gelombang modernisasi (Malang:2010) hlm. 12

[5] In’am Sulaiman, Masa depan pesantren, Eksistensi pesantren di tengah gelombang modernisasi (Malang:2010) hlm. 20
[6]   Mastuhu, Dinamik Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur Nilai Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1989).

[7]  Burrell, Gibson dan Morgan, Gareth. 1994. Sociological Paradigsm And Organisational Analysis. Ashgate Publishing Company. Brookfield

[8] Suseno, Franz Magnis. 1999. Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijakan hidup jawa. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
[9] Abdul Munir Mulkan,  Paradigma Intelektual Muslim, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah (Yogyakarta :SIPRESS, 1993), 127.
[10] Azyumardi Azra,Pendidikan islam….Op.cit, 51
[11] Zamakhsyari Dhofier,  Tradisi Pesantren, Studi Tentang  Pandangan Hidup Kyai (Jakarta : LP3ES 1994), 39
[12] Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama, di Tengah Agenda Persoalan Bangsa (Jakarta : Logos, 1999), 121.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar