BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan Islam sesungguhnya telah tumbuh dan berkembang sejalan
dengan adanya dakwah Islam yang telah dilakukan Nabi Muhammad SAW. Berkaitan dengan itu pula pendidikan Islam
memiliki corak dan karakteristik yang berbeda sejalan dengan upaya pembaharuan
yang dilakukan secara terus – meneruskan pascagenerasi nabi, sehingga dalam
perjalanan selanjutnya pendidikan Islam terus mengalami perubahan baik dari
segi kurikulum (mata pelajaran).
Secara eksplisit, pendidikan mempunyai nilai yang strategis dan
urgen dalam pembentukan suatu bangsa. Untuk menjadikan pendidikan yang berarti
harus menyediakan kurikulum pendidikan yang baik tentunya kepada peserta didik.
Sebagaimana halnya dengan faktor-faktor pendidikan lainnya, maka kurikulum pun
memainkan peranan penting dalam mewujudkan tujuan pendidikan. Kurikulum
mengalami perkembangan mengikuti perkembangan kebudayaan dan peradaban
masyarakat. Dalam perkembangannya, tentu saja kurikulum mengalami pembaruan
dalam isinya, sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.
Munculnya pendidikan Islam bersamaan dengan lahirnya Islam itu
sendiri. Pendidikan pada awalnya dilakukan dari rumah ke rumah, di
masjid-masjid dan sebagainya. Ini dilakukan dengan peralatan yang sederhana
sekali. Pendidikan Islam sebagai suatu sistem merupakan sistem tersendiri di
antara sistem pendidikan di dunia ini, kendatipun memiliki banyak persamaan.
Dikatakan sistem tersendiri karena cakupannya dan kesadarannya terhadap detak
jantung, karsa dan karya manusia.
Pendidikan Islam di masa klasik yang dilakukan nabi di Makkah
merupakan prototype yang bertujuan untuk membina pribadi Muslim agar
menjadi kader yang berjiwa kuat dan dipersiapkan menjadi masyarakat Islam,
mubalig dan pendidik yang baik.[1]
Setelah hijrah, pendidikan Islam mengalami perkembangan dan pendidikan
diarahkan juga untuk membina aspek-aspek kemanusiaan dalam mengelola dan
menjaga kesejahteraan alam semesta.[2]
Kurikulum pendidikan Islam klasik merupakan suatu sistem pendidikan
klasik yang berbeda dengan sistem pendidikan Islam yang ada pada saat ini.
Kalau ditinjau dari aspek tujuan, guru, murid, kurikulum, metode, fasilitas,
dan sarana prasarana, jelas terlihat perbedaannya. Sudah banyak terjadi
perkembangan-perkembangan dalam dunia pendidikan Islam.
Runtuhya
kerajaan Romawi pada abad ke 5 M merupakan awal dari “zaman pertengahan yang
gelap” , yaitu ketika Eropa mengalami kemunduran peradaban, sedangkan di Timur
peradaban mengalami kemajuan yang pesat. Sehingga Islam selama kurang
lebih lima abad menjadi mercusuar dalam segala aspek.[3]
Usaha-usaha
penaklukan yang dilakukan umat Islam pada masa sebelumnya yaitu pada masa
Khulafaur rasyidin dan Bani Umayyah, pada masa Abbasiyah dikurangi dan mengarahkan
perhatian terhadap perdamaian.[4] Pelaksanaan pendidikan Islam semakin meningkat pada masa dinasti
Umayyah yang meletakkan dasar-dasar bagi kemajuan pendidikan. Sehingga masa ini
disebut dengan “masa inkubasi” atau masa bagi perkembangan intelektual Islam.[5]
Peradaban Islam
mengalami puncak keemasan pada masa Bani Abbasiyah adalah pada pemerintahan
Al-Ma’mun (813-833 M), yaitu ketika orang-orang Islam mulai menerjemahkan
buku-buku Yunani, Persia dan India ke dalam bahasa mereka.[6]
Perhatian Al-Ma’mun terhadap proses pendidikan terutama proses penerjemahan
buku-buku tersebut sangat besar. Maka sejak awal periode penerjemahan ini,
pendidikan Islam mulai memiliki potensi-potensi dalam memgembangkan kurikulum
yang beraneka ragam, mencakup berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Sejak saat itulah proses pendidikan Islam mulai mengalami
kecenderungan untuk mengembangkan diri dalam “merajut” kesatuan system yang ada
di dalamnya. Satu hal yang pasti, bahwa mengkaji system pendidikan Islam klasik
tidak akan selalu sama jika hanya dilihat dari system pendidikan Islam di masa
sekarang.
Satu dari sekian system itu adalah kurikulumnya. Sudah bisa
dibayangkan bahwa kurikulum klasik pendidikan Islam tidaklah sama dengan
kurikulum pendidikan Islam sekarang ini. Kurikulum pendidikan Islam klasik
berkisar pada bidang studi tertentu, sedangkan kurikulum dewasa ini merupakan
sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari siswa. Lebih luas
lagi kurikulum bukan hanya sekedar rencana pelajaran, tetapi semua program
pendidikan yang disediakan oleh lembaga pendidikan bagi siswa.[7]
Yang jadi persoalan adalah, bagaimana “sosok” kurikulum ditampilkan
pada masa pendidikan Islam klasik? Adakah penjenjangan dalam penggunaan
kurikulum —mengingat pentahapan dalam pendidikan Islam klasik—, dan bagaimana
perkembangan dalam masa awalnya?
Hal ini sangat memungkinkan pada kajian-kajian sejarah pendidikan
Islam klasik, dalam mengupayakan eksistensi dan perkembangan pendidikan Islam.
Untuk itulah penulis sengaja mengahadirkan keberadaan kurikulum pendidikan
Islam klasik. Agar tidak melebarkan pembahasan, penulis secara khusus mencoba
mencermati hanya seputar kurikulum pendidikan klasik. Secara umum, meliputi
pengertian, perkembangan kurikulum klasik mulai sebelum berdirinya madrasah
sampai kurikulum setelah berdirinya madrasah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana kurikulum
pendidikan islam klasik (750 – 1350 M)?
2.
Bagaimana kurikulum
pendidikan islam sebelum berdirinya madrasah?
3.
Bagaimana
kurikulum pendidikan islam sesudah berdirinya madrasah?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengkaji kurikulum
pendidikan islam klasik (750 – 1350 M)
2.
Untuk
menganalisa perbedaan kurikulum pendidikan islam sebelum dan sesudah berdirinya
madrasah
D.
Definisi Operasional Variabel
1.
Kurikulum Pendidikan Islam Klasik
Dalam makalah ini yang di maksud
kurikulum pendidikan Islam klasik agaknya tidak dapat dipahami sebagaimana
kurikulum pendidikan modern. Pada kurikulum pendidikan modern, seperti
kurikulum pendidikan nasional di Indonesia, ditentukan oleh pemerintah dengan
standar tertentu yang terdiri dari beberapa komponen: tujuan, isi, organisai
dan strategi. Pengertian dan komponen demikian agaknya sangat sulit ditemukan
dalam literatur-literatur kependidikan Islam klasik. Untuk itu, kurikulum
pendidikan Islam klasik dalam makalah ini dipahami dengan subyek-subyek ilmu
pengetahuan yang diajarkan dalam proses pendidikan.
2.
Islam Klasik
Terminologi masa klasik ini memberi
membuka peluang untuk diperdebatkan : sejak dan hingga kapan(?). Apakah dalam
kacamata dunia muslim atau penulis barat. Sebab, para penulis Barat
mengidentikkan abad ke-7 hingga abad ke-12/13 M. sebagai zaman kegelapan (dark
age); sementara para penulis musllim mengidentikkannya dengan masa keemasan
(al-‘ashr al-dzahabi). Untuk memperoleh kejelasan batasan waktu, penulis
membatasi masa klasik dalam kacamata penulis muslim, seperti batasan yang
dilakukan Harun Nasution. Ia mengklasifikasi sejarah Islam pada tiga masa: [a]
periode klasik dimulai tahun 650 hingga 1250 M., sejak Islam lahir hingga
kehancuran Baghdad [b] periode pertengahan sejak tahun 1250 hingga 1800 M.,
sejak Bghdad hancur hingga munculnya ide-ide pembaharuan di Mesir dan [c]
periode modern, mulai tahun 1800 M. hingga sekarang. Namun, dalam makalah ini,
“periode islam klasik” dibatasi pada sekitar tahun 750 - 1350 M, yaitu pada
masa kedaulahan Bani Abbasiyah (750-1258 M) dan masa setelahnya hingga tahun
1350 M.
3.
Madrasah
Kata madrasah dalam bahasa Arab berarti tempat atau wahana untuk
mengenyam proses pembelajaran. Dalam bahasa Indonesia madrasah disebut dengan
sekolah yang berarti bangunan atau lembaga untuk belajar dan memberi
pengajaran. Karenanya, istilah madrasah tidak hanya diartikan sekolah dalam
arti sempit, tetapi juga bisa dimaknai rumah, istana, kuttab,
perpustakaan, surau, masjid, dan lain-lain, bahkan seorang ibu juga bisa
dikatakan madrasah
pemula.
Dari pengertian di atas maka jelaslah bahwa madrasah adalah wadah
atau tempat belajar ilmu-imu keislaman dan ilmu pengetahuan keahlian lainnya
yang berkembang pada zamannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah
madrasah bersumber dari Islam itu sendiri.
E.
Study Pustaka
Hasil
penelitian Hasani Asro tentang Kurikulum Pendidikan Islam Klasik[8]
yang diseminarkan pada 27 Oktober 2000
di Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menyimpulkan hal
yang dapat menjadikan Islam menghasilkan ilmu pengetahuan begitu banyak dalam
waktu yang singkat dikarenakan Islam yang bersifat dinamis dan kreatif pada
satu sisi, tetapi juga reaksioner dan finalistic di sisi lain.
Hasil
penelitian lain oleh Susari tentang Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Sebelum
Madrasah[9]
yang melihat bahwa kurikum yang diajarkan pada lembaga pendidikan periode awal
hanyalah ilmu agama. Namun setelah adanya persentuhan dengan peradaban
Helenisme, maka materi yang ditawarkan tidak hanya ilmu agama, tetapi juga ilmu
pengetahuan umum, seperti filsafat, matematika dan kedokteran. Atas dasar ini, lembaga pendidikan islam diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu lembaga pendidikan formal dan informal.
BAB II
KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA KLASIK
A.
Definisi Kurikulum Pendidikan Islam
1.
Definisi Kurikulum
Secara
formal, kemunculan[10]
kurikulum sebagai bidang kajian ilmiyah baru pada awal abad ke- 20.[11]
Kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata Curire yang
artinya pelari. Kata Curere artinya tempat berpacu. Curriculum
diartikan jarak yang ditempuh dari seorang pelari. Pada saat itu kurikulum
diartikan sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa/ murid untuk
mendapatkan ijazah. Rumusan kurikulum tersebut mengandung makna bahwa isi
kurikulum tidak lain adalah sejumlah mata pelajaran (subjek matter) yang
harus dikuasai siswa agar siswa memperoleh ijazah.[12]
Pada
masa klasik, pakar pendidikan Islam menggunakan kata al-maddah untuk
pengertian kurikulum. Karena pada masa itu kurikulum lebih identik dengan
serangkaian mata pelajaran yang harus diberikan pada murid dalam tingkat
tertentu.[13]
Ilmu-ilmu agama mendominasi kurikulum di lembaga formal dengan mata pelajaran
hadis dan tafsir, fiqih, retorika dakwah[14]
(dianggap sesuatu yang sangat penting dalam dunia pendidikan klasik).[15]
Sejalan
dengan perjalanan waktu, pengertian kurikulum mulai berkembang dan cakupannya
lebih luas, yaitu mencakup segala aspek yang mempengaruhi pribadi siswa.
Kurikulum dalam pengertian yang modern ini mencakup tujuan, mata pelajaran,
proses belajar dan mengajar serta evaluasi.
Pada
masa klasik kurikulum didefinisikan dengan kata al-Maddah yaitu
serangkaian mata pelajaran yang harus diberikan pada murid dalam tingkat
tertentu.
Kurikulum
ketika didefinisikan secara terminologis kurikulum adalah seperti yang
dikumukakan oleh adamardasy yang dikutip oleh Neng Muslihah bahwa kurikulum
adalah sejumlah pengalaman pendidikan, budaya, social, olah raga dan seni yang
disediakan oleh murid-muridnya di dalam dan luar sekolah.
Crow
and crow mendefinisikan seperti yang dikutif oleh Ramayulis, bahwa kurikulum
adalah rancangan pengajaran atau sejumlah mata pelajaran yang disusun secara
sistematis untuk menyelesaikan seuatu program untuk memperole ijasah. Menurut
Zakiyah Darajat adalah suatu program yang direncanakan dalam bidang pendidikan
dan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan-tujuan pendidikan tertentu.
Menurut
Willian B. Ragan kurikulum adalah serluruh usaha sekolah untuk meransang anak
belajar baik di dalam kelas, di halaman sekolah maupaun di luar sekolah.
Kumudian menurut Harord Alberty kurikulum adalah seluruh aktifitas yang
dilakukan sekolah untuk para pelajar.
Sementara
itu, menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional, pada bab
I, tentang ketentuan umum pasal 1 ayat (1) diyatakan bahwa: kurikulum adalah
seperangkat dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pengajaran serta
cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Kemudian
pengertian kurikulum menurut fungsinya:
a.
Kurikulum sebagai program studi adalah
seperangkat mata pelajaran yang mampu dipelajari oleh peserta didik di sekolah
atau di instansi pendidikan lainnya.
b.
Kurikulum sebagai konten adalah informasi yang
tertera dalam buku-buku kelas tanpa dilengkapi dengan data atau informasi
lainnya yang memungkinkan timbulnya belajar.
c.
Kurikulum sebagai kegiatan berencara adalah kegiatan
yang direncanakan tentang hal-hal yang akan diajarkan dan dengan cara bagaimana
hal itu dapat diajarkan dengan hasil baik.
d.
Kurikulum sebagai hasil belajar adalah
seperangkat tujuan untuk memperoleh seuatu hasil tertentu.
e.
kurikulum sebagai pengalaman belajar adalah
kesuluruhan pengaman belajar yang direncanakan di bawah pimpinan sekolah.
2.
Definisi Pendidikan
Pendidikan
menurut para tokoh pendidikan. Pendidikan adalah
a.
John Dewey
John
Dewey merupakan tokoh pendidikan dalam aliran progesifisme. Di mengatakan bahwa
pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara
intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia.
b.
Driyarkara
Pendidikan
adalah Pemanusian manusia muda atau pengankatan manusia muda ke taraf insani.
c.
Ki Hajar Dewantara
Pendidikan
adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. adapun maksudnya,
pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar
mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan
dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
d.
Menurut Athiyah al- Abrashi
Pendidikan
adalah upaya mempersiapakan individu untuk kehidupan yang lebih sempurna,
kebahagiaan hidup, cinta tanah air, berkompetensi dalam mengucapakan bahasa
lisan dan bahasa tulisan serta terampil dalam berkreatifitas.
e.
Menurut UU No. 20 Th. 2003
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan seuasana belajar mengajar
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan
negara.
f.
Dalam bahasa arab pendidikan sering
diklasifikasikan dengan beberapa istilah, diantaranya:
1)
Tarbiyah : mempersiapkan manusia supaya hidup
dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna
budi pekertinya dan sebagainya.
2)
Ta’lim : proses transmisi berbagai ilmu
pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu.
3)
Ta’dib : pengenalan dan pengakuan tempat-tempat
yang tepat dari sgala sesuatu yang di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa,
sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan
Tuhan di dalam tatanan wujud dan keberadaannya.
g.
Menurut Yahya Qahar
Pendidikan
adalah filsafat yang bergerak di lapangan pendidikan yang mempelajari proses
kehidupan dan alternatif proses pendidikan dalam pembentukan watak.
h.
Pendidikan berlangsung seumur hidup dan
dilaksanakan dalam lingkungan rumah tangga, sekolah, dan masyarakat. Karena itu
pendidikan adalah tanggung jwab bersama antara keluarga, dan pemerintah.
B.
Sejarah Kurukulum Pendidikan Islam Klasik
1.
Kurikulum Pendidikan Islam Sebelum Berdirinya
Masrasah
a.
Kurikulum Pendidikan Rendah
Terdapat kesukaran ketika ingin membatasi mata pelajaran-mata pelajaran
yang membentuk kurikulum untuk semua tingkat pendidikan yang bermacam-macam. Pertama,
karena tidak adanya kurikulum yang terbatas, baik untuk tingkat rendah maupun
tingkat penghabisan, kecuali Al-qur’an yang terdapat pada seluruh kurikulum. Kedua,
kesukaran membedakan di antara fase-fase pendidikan dan lamanya belajar karena
tidak ada masa tertentu yang mengikat murid-murid untuk belajar pada setiap
lembaga pendidikan.
Sebelum berdirinya madrasah, tidak ada tingkatan dalam pendidikan Islam,
tetapi hanya satu tingkat yang bermula di kuttab dan
berakhir di diskusi halaqah. Tidak ada kurikulum
khusus yang diikuti oleh seluruh umat Islam. Di lembaga kuttab
biasanya diajarkan membaca dan menulis, di samping Al-qur’an. Kadang diajarkan
bahasa, nahwu dan arudh.[16]
Terdapat contoh gambaran dari kurikulum tingkat ini. Al-Mufaddal bin
Yazid bercerita bahwa suatu hari ia melihat anak laki-laki dari seorang
perempuan Baduwi. Karena tertarik pada anak itu lalu ia bertanya pada sang ibu.
Sang ibu menjawab sebagai berikut, “apabila berumur lima tahun, saya akan
menyerahkan pada seorang muaddib (guru) agar ia
mengajari menghafal dan membaca alqur’an. Dengan demikian ia suka akan
kebanggaan bangsanya dan ia kan mencari peninggalan nenek moyangnya; apabila
dewasa, saya akan mengajarinya cara menunggang kuda sehingga ia terlatih dengan
baik, lalu ia naik kuda sambil memanggul senjata. Kemudian ia akan mondar
mandir di lorong-lorong kampungnya untuk mendengarkan suara orang-orang yang
akan meminta bantuan.”[17]
Sedangkan kurikulum yang ditawarkan oleh Ibnu Sina untuk tingkat ini
adalah mengajari Alqur’an, karena anak-anak dari segi fisik dan mental, telah
siap menerima pendiktean, dan pada waktu yang sama diajarkan juga huruf
hijaiyah dan dasar agama kemudian syair berikut artinya. Setelah anak-anak
belajar Alqur’an dan dasar agama, kemudian diarahkan untuk mempelajari sesuatu
yang sesuai dengan kecenderungannya.
Namun demikian, ada perbedaan antara kuttab-kuttab
yang diperuntukkan bagi masyarakat umum dengan yang ada di istana. Di istana,
orang tua (para pembesar istana) adalah yang membuat rencana pelajaran tersebut
sesuai dengan anaknya dan tujuan yang dikehendakinya. Rencana pelajaran untuk
pendidikan istana ialah pidato, sejarah, peperangan-peperangan, cara bergaul
dengan masyarakat di samping pengetahuan pokok, seperti Al-qur’an, syair dan
bahasa.[18]
Harun Al-Rasyid telah memajukan pelajaran bagi putranya (Al-Amin) dengan
mengatakan sebagai berikut :
“Hai Ahmar! Sesungguhnya Amirul Mu’minin telah memberikan kepadamu
buah hatinya, maka bentangkanlah tanganmu kepadanya dan ketaatan kepadamu
adalah suatu kewajiban. Maka janganlah kamu merasa sungkan dan hendaknya kamu
tetap dalam posisimu sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Amirul Mu’minin.
Bacakanlah kepadanya Al-Quran, ceritakanlah kepadanya peristiwa-peristiwa,
riwayatkanlah kepadanya syair-syair, ajarkanlah kepadanya Sunnah Sunnah Nabi
Muhammad Saw. Tunjukkanlah kepadanya bagaimana menyusun perkataan dan cara
memulainya. Laranglah ia tertawa kecuali pada wakktunya………….”[19]
Kurikulum pada tingkat ini bervariasi tergantung pada tingkat kebutuhan
masyarakat. Karena sebuah kurikulum dibuat tidak akan pernah lepas dari faktor
sosiologis, politis ekonomis masyarakat yang melingkupinya. Di lembaga
pendidikan masyarakat umum, orang tua kurang mempunyai peran dalam penyusunan
kurikulum karena anak belajar suatu mata pelajaran tergantung pada guru yang
tersedia. Berbeda dengan yang ada di istana, dimana anak memang diarahkan untuk
menjadi pemimpin yang akan menggantikan bapak-bapak mereka, di lembaga
pendidikan ini rencana pelajaran disusun oleh orang tua mereka.
Kurikulum pada tingkat ini tidak dipersiapkan untuk menuju pendidikan
yang lebih tinggi. Ada jurang lebar yang memisah kedua lembaga tersebut
sehingga orang yang ingin belajar setelah tingkat dasar dalam masalah sastra,
kajian keagamaan, hukum dan filsafat, harus menempuh jalur sendiri dan meminta
secara pribadi untuk bergabung dengan halaqah milik seorang syaikh.
b.
Kurikulum Pendidikan Tinggi
Kurikulum pendidikan tinggi, halaqah
—kalau mau menyebut demikian— bervariasi tergantung pada syaikh yang mau
mengajar. Para mahasiswa tidak terikat untuk mempelajari mata pelajaran
tertentu, demikian juga guru tidak mewajibkan kepada mahasiswa untuk mengikuti
kurikulum tertentu. Mahasiswa bebas mengikuti pelajaran di sebuah halaqah
dan berpindah dari sebuah halaqah ke halaqah
yang lain, bahkan dari satu kota ke kota lain.
Menurut Fazlur Rahman, pendidikan jenis ini disebut pendidikan orang
dewasa, karena diberikan kepada orang banyak yang tujuan utamanya adalah untuk
mengajarkan mereka mengenai Al-Qur’an dan agama.[20]
Kurikulum pada pendidikan tingkat ini dibagi kepada dua jurusan, pertama
jurusan ilmu-ilmu agama (al-‘ulum al-naqliyah) dan kedua
jurusan ilmu pengetahuan (al-‘ulum al-aqliyah).
Kedua macam kurikulum ini sejalan dengan dua masa transisi penting dalam
perkembangan pemikiran Islam. Kurikulum pertama sejalan
dengan fase di mana dunia Islam mempersiapkan diri untuk mendalami masalah
agama, menyiarkan dan mempertahankannya. Namun perhatian pada agama itu
tidaklah terbatas pada ilmu agama semata, akan tetapi dilengkapi juga dengan
ilmu-ilmu bahasa, ilmu sejarah, ilmu hadist dan tafsir. Menurut Mahmud Yunus,
kurikulum jurusan ini adalah tafsir al-Qur’an, hadist, fiqih, ushul fiqih,
nahwu sharaf, balaghah, bahasa dan sastranya.[21]
Al-Khuwarazmi (Yusuf Al-Katib, 976) dalam bukunya, Mafatih
al-Ulum meringkas kurikulum agama sebagai berikut: ilmu fiqih, ilmu
nahwu, ilmu kalam, ilmu kitabah (sekretaris),dan ilmu
‘arudh. Ilmu sejarah (terutama sejarah Persia,
sejarah Islam, sejarah sebelum Islam, sejarah Yunani dan Romawi).[22]
Di samping itu, diajarkan juga matematika dasar, karena banyak digunakan untuk
ilmu faraid dan pembuatan taqwim
(mencocokkan tahun Hijriyah dengan tahun Masehi). Adapun yang ditulis dalam
risalah Ikhwan al-Shafa, kurikulum untuk jurusan ini adalah
ilmu al-Qur’an, tafsir, hadist, fiqih, zikir, zuhud, tasawuf, dan syahadah.[23]
Sedangkan Al-Farabi memasukkan studi keagamaan di bawah metafisika dan
ilmu kemasyarakatan. Karena, menurutnya, kesempurnaan manusia, bisa dicapai
kalau manusia dapat memiliki jenis pengetahuan tertentu dan manusia hidup dalam
jenis kehidupan tertentu pula. Ia merasa pengetahuan yang dibawa agama “tidak
mencukupi”.[24]
Maka tidak heran jika di dalam karyanya, Ihsaal Ulum
(Enumeration of The Sciences) yang di Barat dikenal
dengan dengan Scientist, dia tidak
memasukkan studi keagamaan dalam klasifikasi pengetahuannya.
Kurikulum kedua, yaitu kurikulum ilmu pengetahuan.
Ia merupakan ciri khas pada fase kedua perkembangan pada pemikiran umat Islam,
yaitu ketika umat Islam mulai bersentuhan dengan pemikiran Yunani, Persia dan
India. Menurut Mahmud Yunus, kurikulum untuk pendidikan jenis ini adalah
mantiq, ilmu alam dan kimia, ilmu musik, ilmu-ilmu pasti, ilmu-ilmu ukur,
ilmu-ilmu falak, ilmu ketuhanan, ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan dan
kedokteran.[25]
Ikhwan Al-Shafa mengklasifikasikan ilmu-ilmu umum kepada:
1) Disiplin-disiplin
Umum, antara lain: baca-tulis, arti kata dan gramatika, ilmu hitung, sastra
(sajak dan puisi), ilmu tentang tanda-tanda dan isyarat, ilmu sihir dan jimat,
kimia, sulap, dagang, dan ketrampilan tangan, jual beli, komersial, pertanian,
dan peternakan, serta biografi dan kisah.
2) Ilmu-ilmu
Filosofis, antara lain: mate-matika, logika, ilmu angka-angka, geometri,
astronomi, musik, aritmatika, dan hukum-hukum geometri, ilmu-ilmu alam dan
antropologi zat, bentuk, ruang, waktu dan gerakan kosmologi produksi,
peleburan, dan elemen-elemen metereologi dan minerologi, esensi alam dan
manifestasinya, botani, zoology; anatomi dan antropologi, persepsi inderawi,
embriologi, manusia sebagai mikrokosmos, perkembangan jiwa (evolusi
psikologis), tubuh dan jiwa, perbedaan bahasa-bahasa (filologi), psikologi dan
teologi doktrin esoteris Islam, susunan dan spiritual; serta ilmu-ilmu alam
ghaib.[26]
Sedangkan klasifikasi yang diperkenalkan oleh Al-Farabi adalah:
1) Ilmu
bahasa (sintaksis, tata bahasa, pengucapan, cara bicara, puisi).
2) Logika
(pembagian, definisi dan komposisi pikiran secara sederhana).
3) Ilmu
propaedeutic (ilmu hitung, ilmu ukur, ilmu optik, ilmu tentang cakrawala, ilmu
musik, ilmu gaya berat, ilmu membuat alat).
4) Fisika
(ilmu alam, metafisika).
5) Ilmu
kemasyarakatan (yurisprudensi, retorika).[27]
Adapun yang ditulis dalam Mafatih al-Ulum, yaitu
logika, ilmu kedokteran anatomi, patologi, bahan obat, terapetik, diet, berat
dan takaran, aritmatika, geometri, astronomi, musik, dan kimia.[28]
Masuknya ilmu-ilmu asing —yang notabene berasal dari tradisi
Hellenistik—, ke dalam kurikulum pendidikan Islam bukan merupakan bagian dari
pendidikan yang ditawarkan di masjid atau madrasah, tetapi dilakukan di halaqah-halaqah
pribadi atau juga di perpustakaan-perpustakaan, seperti Dar
al-Hikmah dan Bait al-Hikmah. Syalabi
menggambarkan bagaimana giatnya umat Islam mengadakan penelitian, penerjemahan,
diskusi dalam berbagai aspek di kedua lembaga tersebut.[29]
2.
Kurikulum Pendidikan Islam Setelah Berdirinya
Madrasah
Pada
zaman keemasan Islam, aktivitas-aktivitas kebudayaan pendidikan Islam tidak mengizinkan
teologi dan dogma membatasi ilmu pengetahuan mereka. Mereka menyelidiki setiap
cabang ilmu pengetahuan manusia, baik fisiologi, sejarah, historiografi, hukum,
sosiologi, kesusastraan, etika, filsafat, teologi, kedokteran, mate-matika,
logika, jurisprudensi, seni, arsitektur, atau ilmu keramik.
Sejalan
dengan perkembangan zaman dan tingkat kebutuhan, mendirikan madrasah adalah
dianggap sesuatu yang signifikan. Pendirian lembaga pendidikan tinggi Islam ini
di bawah patronase wazir Nizam Al-Mulk (1064 M).[30]
Biasanya sebuah madrasah dibangun untuk seorang ahli fiqih yang termasyhur
dalam suatu mazhab empat. Nuruddin Mahmud bin Zanki misalnya, beliau telah
mendirikan beberapa madrasah untuk mazhab Hanafi dan Syafi’I di Damaskus dan
Halab. Beliau juga membangun sebuah madrasah untuk mazhab ini di kota Mesir.
Di
satu sisi, berdirinya madrasah merupakan sumbangan Islam bagi peradaban
sesudahnya. Akan tetapi, disisi lain hal ini membawa dampak yang buruk bagi
dunia pendidikan setelah hegemoni negara yang terlalu kuat terhadap madrasah.
Akibatnya kurikulum madrasah ini dibatasi hanya pada wilayah hukum (fiqih) dan
teologi. Legitiumasi “makruh” terhadap penggunaan nalar setelah runtuhnya
Mu’tazilah, ilmu-ilmu profan yang sangat dicurigai dihapus dari kurikulum madrasah.
Hal ini menyebabkan mereka yang punya minat tinggi terhadap ilmu-ilmu ini
terpaksa belajar secara otodidak. Karenanya ilmu-ilmu profan banyak
berkembang di lembaga-lembaga non formal.
Satu
pertanyaan yang dapat kita kembangkan, bahwa kenapa legalisme fiqih atau
syariat terlalu dominan terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam? Menurut
Fazlur Rahman, ada pandangan yang terus menerus diungkap, yaitu karena
ilmu itu luas dan hidup ini singkat, maka orang harus memeberikan prioritas,
dan prioritas itu dengan sendirinya diberikan pada sains-sains agama yang
membawa kejayaan di akhirat.[31]
Sedangkan
menurut Azyumardi, karena memang lembaga-lembaga ini dikuasai oleh mereka yang
ahli agama, dan tidak kalah pentingnya adalah tidak otonomnya madrasah dari tanah
waqaf yang diberikan oleh para dermawan dan penguasa politik. Motivasi
kesalehan mendorong para dermawan untuk mengarahkan madrasah bergerak dalam
bidang ilmu-ilmu agama karena di anggap mendatangkan pahala. Di pihak lain,
para penguasa politik pemrakarsa pendirian madrasah, —apakah karena didorong
oleh motivasi politik atau motivasi murni untuk menegakkan “ortodoksi” Sunni—,
sering mendikte madrasah untuk tetap berada dalam kerangka “ortodoksi itu
sendiri”.[32]
Namun,
bagi penulis hal itu adalah salah satu realitas dalam perjalanan sejarah
pendidikan Islam. Bukan maksud penulis mencurigai madrasah sebagai “kambing
hitam” bagi kemunduran ini, walaupun tentu saja ia mempercepat dan melestarikan
stagnasi tersebut. Sebab, sebenarnya penurunan kualitas lmu pengetahuan
Islam adalah kekeringan gradual dari ilmu-ilmu keagamaan karena pengucilannya
dari kehidupan intelektualisme awam yang kemudian juga mati.
c.
Kemajuan Dalam Masa Kedaulahan Abbasiyah
(750-1258 M) di Bidang Pendidikan dan Keilmuan
Pada
masa pemerintahan Bani Abbas, pendidikan dan pengajaran mengalami kemajuan yang
gemilang. Pada masa itu prioritas umat islam mampu membaca dan menulis, pada
masa ini pendidiakan dan pengajaran diselenggarakan dirumah-rumah penduduk dan
ditempat-tempat umum lainnya misalnya Muktab.
Menurut keterangan yang ada, terdapat sekitar 30.000 masjid yang sebagian besar dipergunakan sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran tingkat dasar, kurikulum pendidikan pendidikan pada tingkat dasar terdiri pelajaran membaca, menulis, tata bahasa, hadist, prinsip-prionsip dasar matematika dan pelajaran syair. Sedangkan pendidikan tingkat menengah terdiri dari pelajaran taysir Al - Qur’an pembahasan kandungan Al - Qur’an, Sunah Nabi, Fiqih, dan Ushul Fiqh, kajian ilmu kalam (teologi), ilmu Mntiq (retorika) dan kesustraan, pada pelajaran tingkat tinggi mengadakan pengkajian dan penelitian mandiri dibidang astronomi, geografi dunia, filsafat, geometri, musikdan kedokteran.
Menurut keterangan yang ada, terdapat sekitar 30.000 masjid yang sebagian besar dipergunakan sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran tingkat dasar, kurikulum pendidikan pendidikan pada tingkat dasar terdiri pelajaran membaca, menulis, tata bahasa, hadist, prinsip-prionsip dasar matematika dan pelajaran syair. Sedangkan pendidikan tingkat menengah terdiri dari pelajaran taysir Al - Qur’an pembahasan kandungan Al - Qur’an, Sunah Nabi, Fiqih, dan Ushul Fiqh, kajian ilmu kalam (teologi), ilmu Mntiq (retorika) dan kesustraan, pada pelajaran tingkat tinggi mengadakan pengkajian dan penelitian mandiri dibidang astronomi, geografi dunia, filsafat, geometri, musikdan kedokteran.
Dinasti bani Abbasiyah yang berkuasa sekitar
lima abad lebih, merupakan salah satu dinasti islam yang sangat peduli didalam
upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban islam. Bani Abbasiyah telah
menyiapkan segalanya, diantara fasilitas yang diberikan adalah pembangunan
pusat riset dan terjemah. Para ilmuan digaji sangat tinggi dan kebutuhan
hidupnya dijamin oleh Negara. Bahkan khalifah Bani Abbasiyah meminta siapa saja
termasuk para pejabat dan tentara untuk mencari naskah-naskah yang berisi ilmu
pengetahuan dan peradaban untuk dibeli dan diterjemahkan menjadi bahasa arab.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kurikulum pendidikan islam pada masa klasik
dimunculkan oleh cendikiawan muslim pada masa klasik, seperti al-Kindi,
al-Ghazali, al-farabi, Ibnu sina dan lain-lain. Kurikulum pendidikan ini di
bagi kepada dua bagian. Bagian pertama, kurikulum sebelum sebelum madrasah.
Kedua, kurikulum setelah bedirinya madrasah.
Kedua bagian ini, masing-masing mempunyai
bagian-bagiannya. Kurikulum pendidikan sebelum madrasah terbagi dua bagian,
diantaranya: kurikulum pendidikan rendah dan kurikulum pendidikan tinggi.
Kemudian pendidikan setelah berdirinya madrasah ini lebih menitik beratkan
kepada tingkat dewasa (mahasiswa).
Kurikulum pendidikan rendah terbagi ke dua
bagian. Pertama, kurikulum pendidikan untuk masyarakat umum. Kedua, kurikulum
pendidikan untuk orang istana. Untuk masyarakat umum, orang tua mereka tidak
mempunyai peran dalam maslah pendidikan, karena itu diatur oleh guru mereka
langsung seperti ilmu cara baca al-quran, sejarah dsb. Sedang kurikulum orang
istana, diatur oleh orang tua (para pejabat), karena anaknya dicetak untuk jadi
pemimpin untuk melanjutkan kepemimpinan orang tuannya, mereka konsentrasi ilmu
kepemimpinan, peperangan, sejarah, dan tanpa mengesampingkan ilmu al-quran dan
agama.
Kemudian kurikulum pendidikan tinggi ini lebih
kepada kebebasan untuk memilih dan berpindah-pindah dengan menggunakan metode
halaqoh. Dan tidak diharuskan seorang murid untuk mengikuti syeikh-syeikhnya.
Begitu juga syeikhnya tidak mewajibkan kepada muridnya mengikutinya. Kurikululum
pada tingkat ini terbagi dua yaitu, kurikulum agama dan pengetahuan umum.
Kemudian kurikulum setelah berdirinya madrasah,
hal ini lebih kepada ilmu-ilmu syariat dan teologi. Karena para ahli atau yang
berkuasa pada saat itu adalah para ilmuan dibidang agama, tetapi tidak membuat
patah kepada pelajar untuk mempejari ilmu umum. Mereka mencari sendiri-sendiri
ilmu-ilmu umum itu.
Kurikulum pada zaman klasik secara garis besar
sudah ada walau tidak ada bukti tertulis tentang kurikulum tersebut, nyatanya
yang lebih mendominasi pada sebuah madrasah adalah kurikulum yang didalamnya
adalah muatan tentang agama. Dan biasa yang menentukan kurikulum adalah
orang-orang yang mempunyai otoritas atau penyusun perencanaan mata pelajaran
pendidikan Islam klasik adalah ulama yang menguasai bidangnya masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
A. Lewy,
(Ed). 1991. The International Encyclopedia of Currikulum,
Toronto: Pergamon Press
Ashraf,
Ali. 1996. Horison Baru Pendidikan Islam,
Jakarta; Pustaka Firdaus
Asrohah,
Hanun. 1999. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:
Logos
Asrohah,
Hanun. Sejarah
Pendidikan Islam,hal. 76
Azra,
Azyumardi. 1994. “Pendidikan Tinggi dan Kemajuan Sains: Sebuah
Pengantar”, Pengantar Buku Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam,
Jakarta; Logos wacana Ilmu
G. A.
Beuchamp. 1968. Curriculum Theory, Wilmete: The
Kagg Press
Hamalik,Oemar.
2001. Proses
Belajar Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara
Hasan
Fahmi, Asma.
1997. Sejarah
dan Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta; Bulan Bintang
K.
Hitty, Philip. 1974. History of The Arab, London:
Mac Millan Press
Langgulung, Hasan.
1992. Asas-asas Pendidikan Islam,
Jakarta; Pustaka al-Husna
Madjid,Nurcholis
(Ed). 1994. Khazanah Intelektual Islam,
Jakarta: Bulan Bintang
Michael
Stanton, Charles. 1990. Higler Learning in Islam, Meryland:
Rowman and Litle Field
Michael
Stanton, Charles. 1994. Pendidikan Tinggi dalam Islam,
Jakarta: Logos.
Nakoesteen,Mehdi.
1996. Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat:
Deskriptif Analisis Abad Keemasan Islam, Surabaya; Risalah Gusti
Nata,
Abuddin. 2010. Sejarah Pendidikan
Islam, Jakarta: Rajawali Press
Rahman,
Fazlur. 1995. Islam dan Tantangan Modernitas: Tentang
Transformasi Intelektual, Bandung; Penerbit Pustaka
Rahman,Fazlur.
1994. Islam,
Bandung; Penerbit Pustaka
Soekarno dan Supardi, Ahmad.
1985. Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam,
Bandung: Angkasa
Sudjana,
Nana. 1995. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar,
Bandung; Sinar Baru Algesindo,
Syalabi, Ahmad. Tarikh al-Tarbiyah al-Islamiyah,
Mesir; Dar al-Fikr al-Arabi
Tafsir,
Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perpektif Islam,
hal. 53
Zuhairini,
et. al. 1992. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta;
Bumi Aksara
[1]
Lihat Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam,
Bandung: Angkasa, 1985, hal. 54-59
[2]
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:
Logos, 1999, hal. 5
[3] Kajian-kajian Filsafat dan penerjemahan banyak didukung
oleh khalifah-khalifah Abbasiyah, seperti Al-Mansur, Al-Rasyid, Al-Makmun,
Al-Watsiq, Al-Mutawakkil dan lainnya. Meskipun gerakan penerjemahan mengalami
puncak keemasannya pada masa pemerintahan Abbasiyyah, akan tetapi perintisan
tersebut sudah dimulai sejak zaman Umayyah di Damaskus —misalnya disebut-sebut
Khalifah Khalid bin Yazid (w. 84 H/ 704 M)— telah mencurahkan perhatiannya
kepada pengkajian filasafat. Lihat Nurcholis Madjid, (Ed), Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1994, hal. 23.
[4] Charles Michael Stanton, Pendidikan
Tinggi dalam Islam, Jakarta: Logos, 1994, hal. 84.
[5]
Philip K. Hitty, History of The Arab,
London: Mac Millan Press, 1974, hal. 240.
[6]
Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, Jakarta:
Bumi Aksara, 2001, hal. 65
[7]
Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, Jakarta:
Bumi Aksara, 2001, hal. 65
[8]
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, 2010: Rajawali Press- hal 113
[9]
Ibid…29
[10]
Kemunculan ini ditandai dengan semakin banyaknya hasil-hasil penelitian yang
dipublikasikan melalui jurnal-jurnal kependidikan. Lihat A. Lewy, (Ed), The International Encyclopedia of Currikulum, Toronto:
Pergamon Press, 1991, hal. 185
[11]
G. A. Beuchamp, Curriculum Theory, Wilmete: The
Kagg Press, 1968, hal. 26
[12]
Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar,
Bandung; Sinar Baru Algesindo, 1995, hal. 1-2.
[13]
Kurikulum pada masa Islam klasik dapat dilihat ketika nabi berada di Madinah.
Kurikulum belajar meliputi: belajar menulis, membaca Al-Qur’an, keimanan,
ibadah, akhlak, dasar ekonomi, dasar politik dan kesatuan. Lihat Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perpektif Islam, hal. 53
[14]
Retorika ini terbagi menjadi tiga cabang, yaitu al-Ma’ani, al-Bayan, dan
al-Badi’. Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam,hal.
76
[15]
Charles Michael Stanton, Higler Learning in Islam,
Meryland: Rowman and Litle Field, 1990, hal.43
[16]
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam,
Jakarta; Pustaka al-Husna, 1992, hal. 113. Lihat juga Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta; Bulan
Bintang, 1997, hal. 17
[17]
Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam,
hal. 59.
[18]
Zuhairini, et. al., Sejarah Pendidikan Islam,
Jakrta; Bumi Aksara, 1992, hal. 92
[19]
Ahmad Syalabi, Tarikh al-Tarbiyah al-Islamiyah,
Mesir; Dar al-Fikr al-Arabi, hal. 57
[20]
Fazlur Rahman, Islam, Bandung; Penerbit Pustaka,
1994, hal. 264
[21]
Zuhairini, et. al., Sejarah Pendidikan Islam,
hal. 104
[22]
Mehdi Nakoesteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual
Barat: Deskriptif Analisis Abad Keemasan Islam, Surabaya; Risalah
Gusti, 1996, hal. 73-74.
[23]
Ibid.
[24]
Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam,
Jakarta; Pustaka Firdaus, 1996, hal. 30.
[25]
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, hal. 105.
[26]
Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual
Barat: Deskriptif Analisis Abad Keemasan Islam, hal. 73
[27]
Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, hal.
29.
[28]
Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat,
hal. 74
[29]
Ahmad Syalabi, Tarikh al-Tarbiyah al-Islamiyah,
hal. 181-184. Lihat juga, Muhammad Athiyah Al- Abrasyi , Al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falasifatuha, Mesir; Isa
Al-Babi Al-Halabi, 1975, hal. 96-98.
[30]
Pada dasarnya madrasah ini bukanlah merupakan madrasah yang pertama dilihat
dari berdirinya. Akan tetapi, madrasah ini merupakan madrasah pertama yang
mendapat pengakuan dan dukungan pemerintah, dan sekaligus menjadi cikal bakal
dari madrasah-madrasah sesudahnya. Dan anggapan yang berkembang bahwa Islam
Sunni memperoleh kemenangan berkat dukungan negara tidaklah semuanya benar.
Sebaliknya, kebijakan-kebijakan negara yang baru selalu mengikuti kecenderungan
yang sudah berakar di kalangan masyarakat. Adalah jelas sekali bahwa Dinasti
Fatimiyah, walaupun mereka melakukan usaha-usaha untuk menyebarkan doktrin
Ismailiyah melalui pendidikan dan sarana-sarana lain, akan tetapi gagal untuk
menimbulkan dampak yang berskala besar di masyarakat. Lihat Fazlur Rahman, Islam, hal. 268
[31]
Fazlur Rahman, Islam dan Tantangan Modernitas: Tentang
Transformasi Intelektual, Bandung; Penerbit Pustaka, 1995, hal. 39
[32]
Azyumardi Azra, “Pendidikan Tinggi dan Kemajuan Sains: Sebuah
Pengantar”, Pengantar Buku Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam,
Jakarta; Logos wacana Ilmu, 1994, hal. 1X.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar