BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Tasawuf
adalah salah satu pilar Islam. Ia adalah ajaran dan amalan Rasulullah SAW beserta
para sahabatnya. Seungguhnya tanpa tasawuf agama ini akan kehilangan
ruhnya dan tidak ada bedanya dengan ideologi buatan manusia. Sepeninggal
Rasulullah dan para sahabatnya, setelah Islam berkembang, ilmu-ilmu Islam pun
mengalami perkembangan yang hebat. Jika tadinya hanya iman, Islam, dan Ihsan,
maka mulai muncul ilmu-ilmu baru seperti ilmu tafsir, nahwu sharaf, musthalah
hadits, ushul fiqih dan lain-lain. Umat Islam pun terdiri dari berbagai macam
bangsa dengan berbagai bahasa. Untuk memudahkan dalam mempelajari Islam, para
ulama Islam membagi ilmu-ilmu dengan memberinya istilah baru seperti aqidah
untuk iman, fiqih untuk Islam, dan tasawuf untuk ikhsan. Dalam mempelajari ilmu
Islam dibolehkan secara terpisah, tetapi dalam mengamalkan wajib serentak
antara iman, Islam, dan ikhsan.
Tasawuf
merupakan salah satu jalan dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, sebuah
kesadaran akan adanya komunikasi dengan Tuhan. Tasawuf sangat erat hubungannya
dengan keadaan menjauhi hidup duniawi dan kesenangan material atau biasa
disebut dengan istilah zuhud. Sedang orang yang mempunyai sifat zuhud disebut
zahid. Setelah itu barulah barulah meningkat menjadi sufi.
Dalam
perkembangan zuhud terdapat dua golongan zahid. Satu golongan zahid
meninggalkan kehidupan dunia serta serta kesenangan material dan memusatkan
perhatian pada ibadah karena didorong oleh perasaan takut akan masuk neraka di
akhirat kelak. Tuhan dipandang sebagai suatu dzat yang ditakuti, dan perasaan
takutlah yang menjadi pendorong mereka. Satu golongan lain didorong oleh
perasaan cinta kepada Tuhan. Bagi mereka, Tuhan bukanlah dzat yang harus
ditakuti dan dijauhi, namun harus dicintai dan didekati. Maka mereka
meninggalkan kehidupan duniawi dan banyak beribadah karena ingin mendekatkan
diri kepada Tuhan.
Kalangan
sufi yang termasuk dalam kalangan ini adalah Rabi’ah al-Adawiyah, dengan konsep
pemikiran tasawufnya yaitu mahabbah illahiyah (kecintaan kepada Tuhan). Seorang
wanita sufi dari Basrah yang terkenal dengan ibadah dan kedekatannya dengan
Allah Swt dengan memasukkan konsep kecintaan terhadap Tuhan dalam dunia
tasawuf.
Rabi’ah adalah perempuan sufi yang dianggap
sebagai perintis aliran tasawuf Hubbul Illahiyah[1].
Beliau mengajak manusia berbagi rasa dalam bertaqwa. Mencintai Allah melebihi
segala yang ada. Mengesampingkan urusan dunia yang bersifat sementara dan fana.
Setiap langkah perjalanan waktu diprioritaskan kepada ibadah serta mencintai
Allah Swt. Di lubuk hati yang paling dalam tak pernah tersentuh perasaan cinta,
kecuali cinta kepada Allah.
Semasa hidupnya, Rabi’ah menghabiskan hidupnya
hanya untuk “mencintai Allah” tidak ada ruang kosong dalam hatinya untuk
mencintai manusia, khususnya lelaki sebagai pendamping hidupnya. Beliau
mengajarkan kepada umat Islam agar dalam melaksanakan ibadah senantiasa di
dasari karena cinta kepada Allah bukan karena makhluk-Nya. Di antara ajaran
beliau dalam sufisme adalah tentang taubat, zuhud dan sabar, disamping ajaran
tasawufnya yang terkenal, yakni al-Mahabbah.
Karena informasi
mengenai biografinya begitu sedikit, dan sebagiannya hanya bercorak mitos, maka
pemakalah mengalami kesulitan untuk mencari referensi. Ditambah lagi adanya
kesimpangsiuran. Dan bagaimana sebenarnya ajaran-ajaran Rabi’ah al-Adawiyah.
Dalam makalah ini, akan dibahas permasalahan mengenai siapa Rabi'ah Adawiyah
itu, dan beberapa ajaranya secara ringkas.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang mengenai perjalanan singkat Rabi’ah
al-adawiyah, dirumuskan beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah,
diantaranya:
1)
Bagaimana
sejarah hidup Rabi’ah al-adawiyah?
2)
Apa pengertian
mahabbah?
3)
Bagaimanakah
konsepsi Hub al-Illah yang dimilki Rabi’ah al-adawiyah?
1.3 Tujuan Pembahasan
Dari rumusan masalah, tujuan pembahasan adalah sebagaimana berikut
:
1)
Mengetahui
sejarah perjalanan hidup Rabi’ah al-adawiyah.
2)
Megetahui dan
memahami arti dari mahabbah.
3)
Mengetahui
konsep Falsafah Hub al-Illah dari Rabi’ah al-adawiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Biografi Rabi’ah
al-Adawiyah
Menurut Ibnu Khalikan,
nama lengkap Rabi’ah al-Adawiyah adalah Ummul Khair Rabi’ah binti Isma’il
al-Adawiyah al-Qisiyah[2].
Dia dilahirkan sekitar awal abad kedua Hijrah di kota Basrah Iraq. Para ahli
sejarah mengatakan bahwa dia dilahirkan pada tahun dimana Hasan Bashri memulai
mengadakan majlis ta’limnya. Peristiwa itu terjadi pada tahun 95 H atau 96 H.[3]
Yang kemudian dikutip oleh Margaret Smith dalam disertasinya yang
berjudul Rabi’ah the Mystic & Her Fellow – Saints in Islam, yang
menulis bahwa Rabi’ah mungkin lahir sekitar tahun 95-99 H di Bashrah, di mana
ia banyak menghabiskan kehidupannya di sana.[4]
Dalam Ensiklopedi Islam, ditulis bahwa Beliau lahir tahun 95 H/713
M.[5]
Pada awal abad ke-2 Hijrah, Iraq telah
membangkitkan getar hati manusia dengan semangat dan kekuatan peradaban
kehidupan. Kota Bashrah ketika itu bagaikan bintang yang berkelap-kelip di
Iraq. Kota itu telah terbuka pintu-pintunya bagi para ulama dan pemikir, kota
itu benar-benar menjelma menjadi tempat berkumpulnya keagungan raja-raja Persia
dengan barang-barang mewahnya, hingga kota itu bergelimang penuh dengan
kemewahan, keagungan dan keindahan. Keadaan hidup masyarakat Islam dalam
pemerintahan Bani Umaiyah waktu itu, yang sebelumnya terkenal dengan ketaqwaan
telah mulai berubah. Pergaulan semakin bebas dan orang ramai berlumba-lumba
mencari kekayaan. Justru itu kejahatan dan maksiat tersebar luas. Pekerjaan
menyanyi, menari dan berhibur semakin diagung-agungkan. Maka ketajaman iman
mulai tumpul dan zaman hidup wara’ serta zuhud hampir lenyap sama sekali.
Dalam kehidupan mewah yang menakjubkan, yang
gemerlap antara keimanan dan pengetahuan, di antara senda gurau dan harta
berlimpah, hiduplah sekelompok kaum miskin yang terpencil dari mereka. Di
antara ratusan gubuk yang bertebaran di pinggiran kota Bashrah, di mana
kaum miskin hidup, terdapat sebuah gubuk kecil sederhana. Seluruh penduduk
Bashrah mengenalnya sebagai Kukh al-‘Abidah (gubuk ahli ibadah). Setiap
tahunnya, gubuk ini menyambut seorang bayi perempuan cantik yang menguras air
mata dari ibunya, karena sang ibu melihatnya sebagai beban penderitaan yang
baru. Sedangkan sang suami, menyambut sang bayi dengan senyuman dan rasa
syukur, sebab ia hanya melihat segala yang berasal dari Tuhan Yang Qadim,
adalah nikmat dan kebaikan belaka.[6]
Rabi’ah lahir di dunia tanpa panggilan yang
indah dan menawan. Cukup “Anak keempat”, yang dalam bahasa Arab disebut Rabi’ah.
Ia tidak memiliki nama bagus sebagaimana lazimnya anak yang lahir pada
masanya. Namanya sekedar pernyataan bahwa ia anak keempat dari keluarga Ismail
al-Adawi.
Fariduddin Al-Aththar (513 H – 627 H), Penyair
mistik Persia, dalam melukiskan keprihatinan Rabi’ah menulis bahwa ia
dilahirkan di rumah, dimana tidak ada sesuatu pun yang dapat dimakan dan yang dapat
dijual. Malam gelap gulita karena minyak untuk penerangan juga telah habis.[7]
Al-Aththar juga
mengemukakan sebuah cerita mengenai pertumbuhan Rabi'ah yang suci dan penuh
ketakwaan, bahwa Rabi'ah telah mengenal halal-haram pada saat memasuki usia
bermain dan bercengkrama. Ia tumbuh bersama dengan cahaya ilahi, dan telah
menghafalkan Al-Qur'an serta senantiasa memelihara waktu shalat pada saat ia
berada dalam usia yang masih belia.[8]
Ayah Rabi'ah wafat saat
ia menginjak remaja. Beberapa waktu kemudian wafat pula ibunya, sehingga
Rabi'ah merasakan kepahitan hidup sebagai yatim piatu yang sempurna, tanpa ayah
dan tanpa ibu. Kedua orang tuanya tidak meninggalkan harta apapun,
sehingga penderitaan Rabi'ah semakin bertumpuk, tidak merasakan cinta dan kasih
sayang kedua orang tuanya. Ketika kota Bashrah mengalami kemarau, Rabi'ah
Adawiyah dan saudara-saudaranya meninggalkan gubuk, menyusuri jalan mencari
sesuap nasi. Nasib memisahkan Rabi'ah dengan saudara-saudaranya.
Ketika itu Rabi'ah
sedang berjalan seorang diri menelusuri lorong jalan kota Bashrah. Tiba-tiba
seseorang menyekap dan menculiknya. Mulutnya dibungkam dengan sehelai kain.
Kemudian ia dibawa, dan dijual dengan harga enam dirham.[9]
Kemerdekaan Rabi'ah
telah dirampas. Kini ia sebagai hamba sahaya (budak). Menjadi pembantu di rumah
orang yang telah membelinya. Lelaki yang bengis, biadab, kejam dan tak punya
rasa belas kasih. Tubuh Rabi'ah semakin kering kerontang. Ia diperlakukan
dengan kasar. Makanan yang diberikan hanyalah sisa-sisa mereka. Pakaiannya pun
hanya sepotong kain yang sudah compang-camping. Meskipun demikian, betapapun
pahitnya kehidupan yang dijalani, tetap diterimanya dengan tabah dan
sabar. Shalat malam tetap dilakukan secara rutin, dan lisannya tak pernah
berhenti dari zikir. Istighfar merupakan senandung yang selalu didendangkan.
Musibah yang
bertubi-tubi malah menjadi motivasi bagi Rabi'ah untuk selalu mendekatkan diri
kepada Allah. sebab dengan ibadah itulah ia dapat melupakan semua penderitaan
dan kesengsaraan yang dialami. Penderitaan lahir batin ia lalui dengan penuh
kesabaran dan tawakal kepada Allah. Ia senantiasa bermunajat, bertasbih dan
beristighfar. Saat munajat kepada Allah, air matanya mengalir dari kelopak
sucinya. Ia tidak memohon kepada Allah untuk membebaskannya dari siksaan yang
ia hadapi, tetapi ia hanya ingin mengetahui satu hal, apakah Tuhannya telah
ridha kepadanya, ataukah tidak ridha? Rabi'ah Adawiyah tidak menginginkan
apapun selain keridhaan dari Allah.
Pada suatu malam,
tuannya terjaga dari tidur, dan melalui jendela melihat Rabi'ah sedang sujud
dan berdo’a, “Ya Allah, Engkau tahu bahwa hasrat hatiku adalah untuk dapat
mematuhi perintah-Mu; jika aku dapat mengubah nasibku ini, niscaya aku tidak
akan beristirahat barang sebentar pun dari mengabdi kepada-Mu.” Menyaksikan
peristiwa itu, ia merasa takut, semalaman termenung sampai terbit fajar.
Pagi-pagi sekali ia memanggil Rabi'ah, bersikap lunak padanya, dan
membebaskannya.
Setelah menikmati
kebebasan, Rabi'ah menjalani kehidupan sufistik, beribadah dan berkhalwat
(menyepi), lebih memilih kemiskinan daripada gemerlapan kehidupan duniawi. Ia
hidup menyendiri, tidak menikah, dan enggan menerima bantuan materiil dari
orang lain. Dengan sikap dan kesalehannya itu, namanya sebagai orang suci dan
pengkhotbah makin lama makin harum. Ia dihormati oleh orang-orang zuhud semasanya
dan sering dikunjungi untuk tukar-menukar pengalaman mengenai masalah kesufian.
Para sufi yang sering berkunjung antara lain Malik bin Dinar (w. 171 H), Sufyan
as-Sauri (97-176 H), Syaqiq al-Balkhi (w. 194 H/810 M), dan lain-lain.
Rabi'ah memilih menempuh
jalan hidup sendirian tanpa menikah, hanya mengabdi kepada Allah SWT.
Pengalaman kesufian ia peroleh bukan melalui guru, melainkan melalui
pengalamannya sendiri. Ia tidak meninggalkan ajaran tertulis langsung dari
tangannya sendiri, akan tetapi ajarannya dikenal melalui para muridnya, dan
baru dituliskan setelah ia wafat.
Terdapat beberapa
keterangan mengenai tahun kematian Rabi'ah. Ada yang menyebut 135 H/752 M, yang
lain menyebut 185 H/801 M. Menurut Ibn Jawzi dalam kitab Shodhur al-‘Aqud, Abu
al-Mahasen Taghriberdi dalam kitab an-Nujum al-Zahira, dan Ibnu
Ahmad Hambali dalam kitab Shadhar at al-Dhahab, dikatakan bahwa Rabi'ah
wafat pada tahun 135 H. Sedangkan menurut Abdur Ra’uf al-Munawi dalam
kitab Tabaqat al-Auliya, dikatakan bahwa Rabi'ah wafat tahun 180 H.[10]
Menurut Louis Masisignon, Rabi'ah meninggal pada usia tidak kurang dari 80
tahun, yakni pada tahun 185 H (801 M).[11]
Pendapat tersebut dikutip oleh Margaret Smith, dimana ia mengatakan bahwa,
Rabi'ah al-Adawiyah wafat pada tahun 185 H (801 M) dan ia dimakamkan di
Bashrah.[12]
Dan pendapat yang terakhir inilah yang lebih kuat. Hal ini didasarkan bahwa
Rabi'ah( wafat pada tahun 185 H) adalah persahabatannya dengan Rabah, dan
pertemuannya dengan Sufyan al-Tsauri yang datang ke Bashrah sesudah tahun 155
H. Dan juga cerita tentang lamaran Sultan Muhammad bin Sulaiman yang menjadi
Gubernur Bashrah dari dinasti Abbasiyah sejak tahun 145 H sampai dengan tahun
172 H.[13]
2.2 Ajaran Mahabbah Rabi’ah al-Adawiyah
Ajaran-ajaran Rabi'ah
tentang tasawuf dan sumbangannya terhadap perkembangan sufisme dapat dikatakan
sangat besar. Rabi'ah memang identik dengan “cinta” dan “air mata”, identik
dengan citra dan kesucian. Tidak berlebihan apabila sepanjang zaman para
pengkaji sejarah tasawuf, bahkan para penempuh jalan Sufi sendiri, merasakan
adanya kekurangan manakala belum “menghadirkan” spirit Rabi'ah dalam ulasan dan
kontemplasinya. Sebagai seorang guru dan panutan kehidupan sufistik, Rabi'ah
banyak dijadikan panutan oleh para Sufi, dan praktis penulis-penulis besar Sufi
selalu membicarakan ajarannya dan mengutip syair-syairnya, sebagai seorang ahli
tertinggi. Di antara ajaran-ajarannya adalah mahabbah.
Mahabbah (rasa cinta)
adalah keinginan untuk memberikan barang yang terbaik yang dimilikinya yakni
hatinya, kepada kekasih. Cinta adalah kesatuan niat, kemauan dan cita-citanya
dengan sang kekasih.[14]
Cinta (mahabbah) kepada
Allah adalah tujuan puncak dari jenjang-jenjang sufisme. Di dalamnya terkandung
unsur Kepuasan Hati (ridha), Kerinduan (syauq), dan Keintiman (uns).
Ridha mewakili – pada satu sisi – ketaatan tanpa disertai adanya
penyangkalan, dari seorang pecinta terhadap kehendak Yang Dicinta, syauq adalah
kerinduan sang pecinta untuk bertemu dengan Kekasih, dan uns adalah
hubungan intim yang terjalin antara dua kekasih spiritual itu. Dari tahap cinta
ini seorang ahli akan langsung meraih ma’rifat, dimana ia akan mampu
menyingkap keindahan Allah dan menyatu dengan-Nya, suatu penyatuan yang terjadi
bukan hanya di dunia saja, tetapi abadi hingga kehidupan akhirat.[15]
Seorang pecinta,
sebagaimana dikatakan oleh Abu Nashr al-Siraj, berada dalam tiga al-ahwal (kondisi
atau tahapan) sebagai berikut : Tahapan pertama dari mahabbah adalah
mahabbah al-‘Ammah (cinta kaum awam), dari cinta tersebut lahirlah
kebaikan Allah dan kasih sayang-Nya kepada mereka. Tahapan kedua adalah mahabbah
al-Shadiqin wa al-Mutahaqiqin, yaitu cintanya orang-orang yang jujur dan
terpercaya. Cinta ini terlahir karena pandangan hati kepada kekayaan Allah,
kemuliaan-Nya, keagungan-Nya, ilmu-Nya, kekuasaan-Nya. Tahapan ketiga
adalah mahabbah al-Shiddiqin wa al-‘Arifin, yaitu cintanya kaum
orang-orang yang jujur dan ahli makrifat. Cinta ini lahir dari pandangan dan
makrifat mereka atas sifat qadim-Nya cinta Allah tanpa adanya sebab.
Oleh karena itu merekapun mencintai Allah tanpa sebab.[16]
Rabi'ah dipandang
sebagai pelopor tasawuf mahabbah (cinta mistik), yaitu penyerahan diri total
kepada “Kekasih” (Allah). Hakikat tasawufnya adalah habbul-illah
(mencintai Tuhan Allah SWT).[17]
Ia senantiasa beribadah kepada Allah tanpa mengharapkan surga, yang mengandung
segala kelezatan bagi nafsu, dan bagi pandangan mata. Ia beribadah juga bukan
disebabkan oleh karena takut terhadap neraka yang apinya menyala-nyala.
Sesungguhnya Rabi'ah Adawiyah beribadah kepada Allah, dalam keadaan cinta
kepada Allah, cinta terhadap Dzat-Nya yang suci.
Ia tidak mau menjadi
seperti seorang buruh yang jahat, yang apabila diberi upah merasa senang dan
apabila tidak diberi upah lantas membenci. Ia juga tidak mau seperti seorang
budak yang bekerja karena cambuk atau karena uang. Rabi'ah Adawiyah ingin agar
manusia mengikuti jejaknya, berjalan di atas pijakan yang ia tempuh. Maksudnya,
mereka menyembah Allah karena Dzat-Nya itu sendiri, bukan karena takut kepada neraka-Nya,
atau karena tamak untuk mendapatkan surga-Nya.
Terkadang, ia
menjelaskan sikapnya ini dengan tamsilan. Suatu hari, orang melihat Rabi'ah
membawa air di tangan kiri, dan api di tangan kanannya. Orang pun bertanya, “Kemana
engkau, Rabi'ah?” dengan tangkas Rabi'ah menjawab, “Saya mau ke langit
untuk membakar surga dan memadamkan api neraka, agar keduanya tak menjadi sebab
manusia menyembah-Nya”. Tentu saja orang awam heran melihat perilaku
Rabi'ah yang tak masuk akal itu. Bukankah membakar surga dengan api dunia atau
memadamkan api neraka dengan air dunia adalah kemustahilan. Tapi orang-orang
yang berilmu mengerti bahwa apa yang tersirat di balik perilaku Rabi'ah itu.
Mereka tahu, ini adalah salah satu caranya, agar manusia menyembah Allah dengan
ikhlas – bukan menyembah-Nya karena surga atau takut neraka.[18]
Apa yang diajarkan
Rabi’ah melalui mahabbah-nya, sebenarnya tak berbeda jauh dengan yang diajarkan
Hasan al-Bashri dengan konsep khauf (takut) dan raja’ (harapan). Hanya saja,
jika Hasan al-Bahsri mengabdi kepada Allah didasarkan atas ketakutan masuk
neraka dan harapan untuk masuk surga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya. Ia mengabdi
kepada Allah bukan lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasan surga,
namun ia mencinta Allah lebih karena Allah semata. Sikap cinta kepada dan
karena Allah semata ini misalnya tergambar dalam sya’ir Rabi’ah sebagai berikut
:
Wahai Tuhanku, jika aku menyembah-Mu, karena takut dari siksa
neraka-Mu ,maka bakarlah diriku dengan api itu. Dan jika
menyembah-Mu karena mengharapkan masuk ke surga-Mu, maka haramkanlah surga itu
dari diriku. Namun , jika aku menyembah-Mu,karena cinta kepada-Mu, maka
berikanlah balasan-Mu yang besar itu kepadaku. Izinkan aku menyaksikan wajah-Mu
Yang Agung dan Mulia.[19]
BAB III
KAJIAN ANALISIS
Rabi'ah Adawiyah adalah
orang pertama yang memindahkan konsep zuhud ke puncak sufisme. Ia adalah orang
pertama yang mengubah konsep-konsep sufisme dari al-Khauf (takut)
menjadi al-Hubb (cinta), dari al-Ra’b (ketakutan) menjadi al-Ma’rifah
(mengenal), dari al-Hirman (penolakan) menjadi al-Ridha (pasrah),
dari al-Qaswah (keras dan kaku) menjadi al-Isyraq (pujian).
Semasa hidupnya,
Rabi’ah menghabiskan hidupnya hanya untuk “mencintai Allah” tidak ada
ruang kosong dalam hatinya untuk mencintai manusia, khususnya lelaki sebagai
pendamping hidupnya. Beliau mengajarkan kepada umat Islam agar dalam
melaksanakan ibadah senantiasa di dasari karena cinta kepada Allah bukan karena
makhluk-Nya.
Mahabah sebagai
martabat untuk mencapai tingkat makrifat (ilmu yang dalam untuk mencari dan
mencapai kebenaran dan hakikat) diperoleh Rabi'ah setelah melalui
martabat-martabat kesufian, dari tingkat ibadah dan zuhud ke tingkat ridla, dan
ihsan (kebajikan), sehingga cintanya hanya kepada Allah SWT.
Cinta kepada Allah (mahabbatullah),
dan cinta pada Rasul-Nya, merupakan seagung-agungnya kewajiban keimanan,
sebesar-besarnya pokok keimanan, dan semulia-mulia dasar keimanan. Bahkan ia
merupakan pokok setiap amal perbuatan dari segala perbuatan keimanan dan
keagamaan. Setiap gerak dan perbuatan muncul dari mahabbah, baik itu
dari mahabbah yang terpuji (mahmudah) maupun yang dari mahabbah
yang tercela (madzmumah).[20]
Seluruh amal perbuatan keimanan itu tidak lahir kecuali dari mahabbah
mahmudah, yaitu cinta kepada Allah. Sementara amal yang lahir dari mahabbah
madzmumah di sisi Allah itu tidak menjadi amal saleh.
Rabi'ah adalah pelopor
di dalam meletakkan kaidah-kaidah rasa cinta dan rasa sedih di dalam
perkembangan tasawuf Islam. Dialah yang meninggalkan bisikan-bisikan kejujuran
dalam mengungkapkan renungan tentang cinta dan kesedihannya. Puisi dan prosa
mendominasi sastra Sufi sesudah masa Rabi'ah adalah bau semerbak dari sekian
banyak keharuman Rabi'ah Adawiyah, sang pelopor dalam kecintaan dan kesedihan di
dalam Islam. Orang yang mencintai secara sempurna tidak akan terpengaruh oleh
celaan para pencela dan hinaan para penghina. Malah hal itu menjadikannya
terdorong untuk mengokohkan mahabbahnya kepada Tuhannya.
Pada awal abad ke-2 Hijrah, Iraq telah membangkitkan
getar hati manusia dengan semangat dan kekuatan peradaban kehidupan. Kota
Bashrah ketika itu bagaikan bintang yang berkelap-kelip di Iraq. Kota itu telah
terbuka pintu-pintunya bagi para ulama dan pemikir, kota itu benar-benar
menjelma menjadi tempat berkumpulnya keagungan raja-raja Persia dengan
barang-barang mewahnya, hingga kota itu bergelimang penuh dengan kemewahan,
keagungan dan keindahan. Keadaan hidup masyarakat Islam dalam pemerintahan Bani
Umaiyah waktu itu, yang sebelumnya terkenal dengan ketaqwaan telah mulai
berubah. Pergaulan semakin bebas dan orang ramai berlumba-lumba mencari
kekayaan. Justru itu kejahatan dan maksiat tersebar luas. Pekerjaan menyanyi,
menari dan berhibur semakin diagung-agungkan. Maka ketajaman iman mulai
tumpul dan zaman hidup wara’ serta zuhud hampir lenyap sama sekali.
Banyak orang-orang
Islam yang telah tenggelam dalam kemewahan dan gemerlapnya dunia hingga
melalaikan kewajibannya sebagai makhluk Allah yang diciptakan hanya untu
beribadah. Hal inilah diantaranya yang menjadi motivasi bagi para Sufi saat
itu, termasuk Rabi'ah Adawiyah, untuk meninggalkan segala tipu daya dunia demi
mencapai kebahagiaan hakiki di akhirat nanti. Para Sufi, terlebih lagi Rabi'ah
Adawiyah, menganggap bahwa cinta pada dunia hanyalah menjadi penghalang untuk
dekat pada Allah. Dunia adalah hina, kekayaan dan kekuasaan hanyalah milik
Allah, untuk itu tidak pantas bagi manusia untuk menyombongkannya apalagi
sampai melupakan kepada Tuhannya.
Rabi'ah Adawiyah dari
mulai lahir sudah terbiasa dengan kehidupan zuhud, hal ini karena ayahnya
adalah seorang zahid, yang malu meminta kepada sesamanya. Ia pada usia remaja
telah “terpenjara” fisiknya oleh perbudakan, meskipun hatinya bebas mengembara
tanpa ada yang dapat memenjarakannya. Hal ini pula yang memotivasi Rabi'ah
untuk lebih dekat pada Allah dengan mahabbahnya.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Rabi'ah al-Adawiyah adalah sufi wanita yang
memberi nuansa tersendiri dalam dunia tasawuf dengan pengenalan konsep
mahabbah. Sebuah konsep pendekatan diri kepada Tuhan atas dasar kecintaan,
bukan karena takut akan siksa neraka ataupun mengharap surga. Cinta Rabiah
merupakan cinta yang tidak mengharap balasan. Rabiah adalah seorang zahidah
sejati. Beliau merupakan pelopor tasawuf mahabbah, yaitu penyerahan diri total
kepada “kekasih” (Allah) dan ia pun dikenang sebagai ibu para sufi besar (The
Mother of The Grand Master). Hakikat tasawufnya adalah habbul-ilāh (mencintai
Allah SWT).
Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan
kaum sufi memiliki nilai tertinggi. Bahkan kedudukan mahabbah dalam sebuah
maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam ma’rifat, atau antara mahabbah dan
ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan.
Kecintaan (Mahabbah) Rabi’ah terhadap
Allah menjadi sebuah hal yang tak terlukiskan. Apa yang dilakukannya sebetulnya
merupakan ikhtiar seorang manusia untuk membiasakan diri ‘bertemu’ dengan
penciptaNya. Disitulah ia memperoleh kehangatan, kesyahduan, kepastian dan
kesejatian hidup. Sesuatu yang kini dirindukan oleh banyak orang. Menjadi pemuja
Tuhan adalah obsesi Rabiah yang tidak pernah mengenal tepi dan batas. Tak heran
jika dunia yang digaulinya bebas dari perasaan benci. Seluruhnya telah
diberikan untuk sebuah pengejaran cinta yang agung dari Penciptanya.
Akhirnya pemakalah berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi diri pemakalah sendiri. Saya
sadar, makalah ini masih jauh dari sempurna, hal ini karena keterbatasan ilmu
yang saya miliki. Untuk itu saran dan kritik demi kemajuan dan perbaikan
makalah ini sangat diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Mun’im Qandil, Figur Wanita Sufi : Perjalanan Hidup Rabi’ah Al Adawiyah,
Surabaya, 1933.
AJ. Siraaj, A.H.
Mahmoud, Perawan Suci dari Basrah : Jenjang Sufisme Rabi’ah Adawiyah, Fajar
Pustaka Baru, Yogyakarta, 2003.
Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 4, Cet. 4, Ichtiar
Baru, Jakarta, 1997.
Dr.
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazami, Sufi Dari Zaman ke Zaman : Suatu
Pengantar Tentang Tasawuf , Pustaka, Bandung, 1985.
Dr.
Javad Nurbakhsh, Sufi Women, Khaniqahi-Nimatullahi Publications,
New York, 1983.
Fadhlallah
Syaikh, The element of Sufisme, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Ibnu
Taimiyah, Risalah Tasawuf Ibnu Taimiyah, Penerbit Hikmah, Jakarta, 2002.
Kamal
Adnan Mustofa, Rahasia Pesona Cinta Illahi, Jakarta : Rabitha Press, 2008
Louis
Massignon & Mustafa Abdur Raziq, Islam dan Tasawuf, Fajar
Pustaka Baru, Yogyakarta, 2001.
Margaret
Smith, M.A., Ph.D., Rabi’ah : Pergulatan Spiritual Perempuan, Risalah
Gusti, Surabaya, 1997.
[1]
Abdul Munim Qandil, Figur Wanita Sufi : Perjalanan Hidup Rabi’ah Al
Adawiyah, Surabaya, 1933, hal. 1.
[2]
Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazami, Sufi Dari Zaman ke Zaman :
Suatu Pengantar Tentang Tasawuf , Pustaka, Bandung, 1985, hal.83.
[3]
Louis Massignon & Mustafa Abdur Raziq, Islam dan Tasawuf, Fajar
Pustaka Baru, Yogyakarta, 2001, hal. 116.
[4]
Margaret Smith, M.A., Ph.D., Rabi’ah : Pergulatan Spiritual Perempuan,
Risalah Gusti, Surabaya, 1997, hal. 7.
[5]
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 4, Cet.
4, Ichtiar Baru, Jakarta, 1997, hal. 148.
[6]
AJ. Siraaj, A.H. Mahmoud, Op.Cit., hal 2.
[7]
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op. Cit.
[8]
AJ. Siraaj, A.H. Mahmoud, Op.Cit., hal 8.
[9]
Abdul Mun’im Qandil, Op.Cit., hal. 23.
[10]
Lihat, Dr. Javad Nurbakhsh, Sufi Women, Khaniqahi-Nimatullahi
Publications, New York, 1983, hal. 31.
[11]
Lihat : Louis Massignon & Mustafa Abdur Raziq, Op.Cit., hal
116.
[12]
Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazami, Op.Cit., hal. 83
[13]
Louis Massignon & Mustafa Abdur Raziq, Op.Cit., hal 116..
[14]
Louis Massignon & Mustafa Abdur Raziq, Op.Cit., hal 116..
[15]
Margaret Smith, M.A., Ph.D., Op. Cit., hal. 101.
[16]
Lihat : AJ. Siraaj, A.H. Mahmoud, Op.Cit., hal 127-128.
[17]
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op. Cit.
[18]
Abdul Mun’im Qandil, Op.Cit., hal. 171-172.
[19]
AJ. Siraaj, A.H. Mahmoud, Op.Cit., hal 137.
[20]
Ibnu Taimiyah, Risalah Tasawuf Ibnu Taimiyah, Penerbit Hikmah,
Jakarta, 2002, hal. 55.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar