Senin, 24 September 2012

RABIAH AL ADAWIYAH DAN TEORI MAHABBAHNYA



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Tasawuf adalah salah satu pilar Islam. Ia adalah ajaran dan amalan Rasulullah SAW beserta para sahabatnya. Seungguhnya tanpa tasawuf  agama ini akan kehilangan ruhnya dan tidak ada bedanya dengan ideologi buatan manusia. Sepeninggal Rasulullah dan para sahabatnya, setelah Islam berkembang, ilmu-ilmu Islam pun mengalami perkembangan yang hebat. Jika tadinya hanya iman, Islam, dan Ihsan, maka mulai muncul ilmu-ilmu baru seperti ilmu tafsir, nahwu sharaf, musthalah hadits, ushul fiqih dan lain-lain. Umat Islam pun terdiri dari berbagai macam bangsa dengan berbagai bahasa. Untuk memudahkan dalam mempelajari Islam, para ulama Islam membagi ilmu-ilmu dengan memberinya istilah baru seperti aqidah untuk iman, fiqih untuk Islam, dan tasawuf untuk ikhsan. Dalam mempelajari ilmu Islam dibolehkan secara terpisah, tetapi dalam mengamalkan wajib serentak antara iman, Islam, dan ikhsan. 
Tasawuf merupakan salah satu jalan dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, sebuah kesadaran akan adanya komunikasi dengan Tuhan. Tasawuf sangat erat hubungannya dengan keadaan menjauhi hidup duniawi dan kesenangan material atau biasa disebut dengan istilah zuhud. Sedang orang yang mempunyai sifat zuhud disebut zahid. Setelah itu barulah barulah meningkat menjadi sufi.
Dalam perkembangan zuhud terdapat dua golongan zahid. Satu golongan zahid meninggalkan kehidupan dunia serta serta kesenangan material dan memusatkan perhatian pada ibadah karena didorong oleh perasaan takut akan masuk neraka di akhirat kelak. Tuhan dipandang sebagai suatu dzat yang ditakuti, dan perasaan takutlah yang menjadi pendorong mereka. Satu golongan lain didorong oleh perasaan cinta kepada Tuhan. Bagi mereka, Tuhan bukanlah dzat yang harus ditakuti dan dijauhi, namun harus dicintai dan didekati. Maka mereka meninggalkan kehidupan duniawi dan banyak beribadah karena ingin mendekatkan diri kepada Tuhan.
Kalangan sufi yang termasuk dalam kalangan ini adalah Rabi’ah al-Adawiyah, dengan konsep pemikiran tasawufnya yaitu mahabbah illahiyah (kecintaan kepada Tuhan). Seorang wanita sufi dari Basrah yang terkenal dengan ibadah dan kedekatannya dengan Allah Swt dengan memasukkan konsep kecintaan terhadap Tuhan dalam dunia tasawuf.
Rabi’ah adalah perempuan sufi yang dianggap sebagai perintis aliran tasawuf Hubbul Illahiyah[1]. Beliau mengajak manusia berbagi rasa dalam bertaqwa. Mencintai Allah melebihi segala yang ada. Mengesampingkan urusan dunia yang bersifat sementara dan fana. Setiap langkah perjalanan waktu diprioritaskan kepada ibadah serta mencintai Allah Swt. Di lubuk hati yang paling dalam tak pernah tersentuh perasaan cinta, kecuali cinta kepada Allah.
Semasa hidupnya, Rabi’ah menghabiskan hidupnya hanya untuk “mencintai Allah”  tidak ada ruang kosong dalam hatinya untuk mencintai manusia, khususnya lelaki sebagai pendamping hidupnya. Beliau mengajarkan kepada umat Islam agar dalam melaksanakan ibadah senantiasa di dasari karena cinta kepada Allah bukan karena makhluk-Nya. Di antara ajaran beliau dalam sufisme adalah tentang taubat, zuhud dan sabar, disamping ajaran tasawufnya yang terkenal, yakni al-Mahabbah.
Karena informasi mengenai biografinya begitu sedikit, dan sebagiannya hanya bercorak mitos, maka pemakalah mengalami kesulitan untuk mencari referensi. Ditambah lagi adanya kesimpangsiuran. Dan bagaimana sebenarnya ajaran-ajaran Rabi’ah al-Adawiyah. Dalam makalah ini, akan dibahas permasalahan mengenai siapa Rabi'ah Adawiyah itu, dan beberapa ajaranya secara ringkas.


1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang mengenai perjalanan singkat Rabi’ah al-adawiyah, dirumuskan beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah, diantaranya:
1)      Bagaimana sejarah hidup Rabi’ah al-adawiyah?
2)      Apa pengertian mahabbah?
3)      Bagaimanakah konsepsi Hub al-Illah yang dimilki Rabi’ah al-adawiyah?
1.3 Tujuan Pembahasan
Dari rumusan masalah, tujuan pembahasan adalah sebagaimana berikut :
1)      Mengetahui sejarah perjalanan hidup Rabi’ah al-adawiyah.
2)      Megetahui dan memahami arti dari mahabbah.
3)      Mengetahui konsep Falsafah Hub al-Illah dari Rabi’ah al-adawiyah.












BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Biografi Rabi’ah al-Adawiyah
Menurut Ibnu Khalikan, nama lengkap Rabi’ah al-Adawiyah adalah Ummul Khair Rabi’ah binti Isma’il al-Adawiyah al-Qisiyah[2]. Dia dilahirkan sekitar awal abad kedua Hijrah di kota Basrah Iraq. Para ahli sejarah mengatakan bahwa dia dilahirkan pada tahun dimana Hasan Bashri memulai mengadakan majlis ta’limnya. Peristiwa itu terjadi pada tahun 95 H atau 96 H.[3] Yang kemudian dikutip oleh  Margaret Smith dalam disertasinya  yang berjudul Rabi’ah the Mystic & Her Fellow – Saints in Islam, yang menulis bahwa Rabi’ah mungkin lahir sekitar tahun 95-99 H di Bashrah, di mana ia banyak menghabiskan kehidupannya di sana.[4] Dalam Ensiklopedi Islam, ditulis bahwa Beliau lahir tahun 95 H/713 M.[5]
Pada awal abad ke-2 Hijrah, Iraq telah membangkitkan getar hati manusia dengan semangat dan kekuatan peradaban kehidupan. Kota Bashrah ketika itu bagaikan bintang yang berkelap-kelip di Iraq. Kota itu telah terbuka pintu-pintunya bagi para ulama dan pemikir, kota itu benar-benar menjelma menjadi tempat berkumpulnya keagungan raja-raja Persia dengan barang-barang mewahnya, hingga kota itu bergelimang penuh dengan kemewahan, keagungan dan keindahan. Keadaan hidup masyarakat Islam dalam pemerintahan Bani Umaiyah waktu itu, yang sebelumnya terkenal dengan ketaqwaan telah mulai berubah. Pergaulan semakin bebas dan orang ramai berlumba-lumba mencari kekayaan. Justru itu kejahatan dan maksiat tersebar luas. Pekerjaan menyanyi, menari dan berhibur semakin diagung-agungkan. Maka ketajaman iman mulai tumpul dan zaman hidup wara’ serta zuhud hampir lenyap sama sekali.
Dalam kehidupan mewah yang menakjubkan, yang gemerlap antara keimanan dan pengetahuan, di antara senda gurau dan harta berlimpah, hiduplah sekelompok kaum miskin yang terpencil dari mereka. Di antara  ratusan gubuk yang bertebaran di pinggiran kota Bashrah, di mana kaum miskin hidup, terdapat sebuah gubuk kecil sederhana. Seluruh penduduk Bashrah mengenalnya sebagai Kukh al-‘Abidah (gubuk ahli ibadah). Setiap tahunnya, gubuk ini menyambut seorang bayi perempuan cantik yang menguras air mata dari ibunya, karena sang ibu melihatnya sebagai beban penderitaan yang baru. Sedangkan sang suami, menyambut sang bayi dengan senyuman dan rasa syukur, sebab ia hanya melihat segala yang berasal dari Tuhan Yang Qadim, adalah nikmat dan kebaikan belaka.[6]
Rabi’ah lahir di dunia tanpa panggilan yang indah dan menawan. Cukup “Anak keempat”, yang dalam bahasa Arab disebut Rabi’ah. Ia tidak memiliki nama bagus sebagaimana lazimnya anak yang lahir pada masanya. Namanya sekedar pernyataan bahwa ia anak keempat dari keluarga Ismail al-Adawi.
Fariduddin Al-Aththar (513 H – 627 H), Penyair mistik Persia, dalam melukiskan keprihatinan Rabi’ah menulis bahwa ia dilahirkan di rumah, dimana tidak ada sesuatu pun yang dapat dimakan dan yang dapat dijual. Malam gelap gulita karena minyak untuk penerangan juga telah habis.[7]
Al-Aththar juga mengemukakan sebuah cerita mengenai pertumbuhan Rabi'ah yang suci dan penuh ketakwaan, bahwa Rabi'ah telah mengenal halal-haram pada saat memasuki usia bermain dan bercengkrama. Ia tumbuh bersama dengan cahaya ilahi, dan telah menghafalkan Al-Qur'an serta senantiasa memelihara waktu shalat pada saat ia berada dalam usia yang masih belia.[8]
Ayah Rabi'ah wafat saat ia menginjak remaja. Beberapa waktu kemudian wafat pula ibunya, sehingga Rabi'ah merasakan kepahitan hidup sebagai yatim piatu yang sempurna, tanpa ayah dan tanpa ibu. Kedua orang tuanya tidak  meninggalkan harta apapun, sehingga penderitaan Rabi'ah semakin bertumpuk, tidak merasakan cinta dan kasih sayang kedua orang tuanya. Ketika kota Bashrah mengalami kemarau, Rabi'ah Adawiyah dan saudara-saudaranya meninggalkan gubuk, menyusuri jalan mencari sesuap nasi. Nasib memisahkan Rabi'ah dengan saudara-saudaranya.
Ketika itu Rabi'ah sedang berjalan seorang diri menelusuri lorong jalan kota Bashrah. Tiba-tiba seseorang menyekap dan menculiknya. Mulutnya dibungkam dengan sehelai kain. Kemudian ia dibawa, dan dijual dengan harga enam dirham.[9]
Kemerdekaan Rabi'ah telah dirampas. Kini ia sebagai hamba sahaya (budak). Menjadi pembantu di rumah orang yang telah membelinya. Lelaki yang bengis, biadab, kejam dan tak punya rasa belas kasih. Tubuh Rabi'ah semakin kering kerontang. Ia diperlakukan dengan kasar. Makanan yang diberikan hanyalah sisa-sisa mereka. Pakaiannya pun hanya sepotong kain yang sudah compang-camping. Meskipun demikian, betapapun pahitnya kehidupan yang dijalani, tetap diterimanya dengan tabah  dan sabar. Shalat malam tetap dilakukan secara rutin, dan lisannya tak pernah berhenti dari zikir. Istighfar merupakan senandung yang selalu didendangkan.
Musibah yang bertubi-tubi malah menjadi motivasi bagi Rabi'ah untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah. sebab dengan ibadah itulah ia dapat melupakan semua penderitaan dan kesengsaraan yang dialami. Penderitaan lahir batin ia lalui dengan penuh kesabaran dan tawakal kepada Allah. Ia senantiasa bermunajat, bertasbih dan beristighfar. Saat munajat kepada Allah, air matanya mengalir dari kelopak sucinya. Ia tidak memohon kepada Allah untuk membebaskannya dari siksaan yang ia hadapi, tetapi ia hanya ingin mengetahui satu hal, apakah Tuhannya telah ridha kepadanya, ataukah tidak ridha? Rabi'ah Adawiyah tidak menginginkan apapun selain keridhaan dari Allah.
Pada suatu malam, tuannya terjaga dari tidur, dan melalui jendela melihat Rabi'ah sedang sujud dan berdo’a, “Ya Allah, Engkau tahu bahwa hasrat hatiku adalah untuk dapat mematuhi perintah-Mu; jika aku dapat mengubah nasibku ini, niscaya aku tidak akan beristirahat barang sebentar pun dari mengabdi kepada-Mu.” Menyaksikan peristiwa itu, ia merasa takut, semalaman termenung sampai terbit fajar. Pagi-pagi sekali ia memanggil Rabi'ah, bersikap lunak padanya, dan membebaskannya.
Setelah menikmati kebebasan, Rabi'ah menjalani kehidupan sufistik, beribadah dan berkhalwat (menyepi), lebih memilih kemiskinan daripada gemerlapan kehidupan duniawi. Ia hidup menyendiri, tidak menikah, dan enggan menerima bantuan materiil dari orang lain. Dengan sikap dan kesalehannya itu, namanya sebagai orang suci dan pengkhotbah makin lama makin harum. Ia dihormati oleh orang-orang zuhud semasanya dan sering dikunjungi untuk tukar-menukar pengalaman mengenai masalah kesufian. Para sufi yang sering berkunjung antara lain Malik bin Dinar (w. 171 H), Sufyan as-Sauri (97-176 H), Syaqiq al-Balkhi (w. 194 H/810 M), dan lain-lain.
Rabi'ah memilih menempuh jalan hidup sendirian tanpa menikah, hanya mengabdi kepada Allah SWT. Pengalaman kesufian ia peroleh bukan melalui guru, melainkan melalui pengalamannya sendiri. Ia tidak meninggalkan ajaran tertulis langsung dari tangannya sendiri, akan tetapi ajarannya dikenal melalui para muridnya, dan baru dituliskan setelah ia wafat.
Terdapat beberapa keterangan mengenai tahun kematian Rabi'ah. Ada yang menyebut 135 H/752 M, yang lain menyebut 185 H/801 M. Menurut Ibn Jawzi dalam kitab Shodhur al-‘Aqud, Abu al-Mahasen Taghriberdi  dalam kitab an-Nujum al-Zahira, dan Ibnu Ahmad Hambali dalam kitab Shadhar at al-Dhahab, dikatakan bahwa Rabi'ah wafat pada tahun 135 H. Sedangkan menurut Abdur Ra’uf al-Munawi dalam kitab Tabaqat al-Auliya, dikatakan bahwa Rabi'ah wafat tahun 180 H.[10] Menurut Louis Masisignon, Rabi'ah meninggal pada usia tidak kurang dari 80 tahun, yakni pada tahun 185 H (801 M).[11] Pendapat tersebut dikutip oleh Margaret Smith, dimana ia mengatakan bahwa, Rabi'ah al-Adawiyah wafat pada tahun 185 H (801 M) dan ia dimakamkan di Bashrah.[12] Dan pendapat yang terakhir inilah yang lebih kuat. Hal ini didasarkan bahwa Rabi'ah( wafat pada tahun 185 H) adalah persahabatannya dengan Rabah, dan pertemuannya dengan Sufyan al-Tsauri yang datang ke Bashrah sesudah tahun 155 H. Dan juga cerita tentang lamaran Sultan Muhammad bin Sulaiman yang menjadi Gubernur Bashrah dari dinasti Abbasiyah sejak tahun 145 H sampai dengan tahun 172 H.[13]

2.2 Ajaran Mahabbah  Rabi’ah al-Adawiyah
Ajaran-ajaran Rabi'ah tentang tasawuf dan sumbangannya terhadap perkembangan sufisme dapat dikatakan sangat besar. Rabi'ah memang identik dengan “cinta” dan “air mata”, identik dengan citra dan kesucian. Tidak berlebihan apabila sepanjang zaman para pengkaji sejarah tasawuf, bahkan para penempuh jalan Sufi sendiri, merasakan adanya kekurangan manakala belum “menghadirkan” spirit Rabi'ah dalam ulasan dan kontemplasinya. Sebagai seorang guru dan panutan kehidupan sufistik, Rabi'ah banyak dijadikan panutan oleh para Sufi, dan praktis penulis-penulis besar Sufi selalu membicarakan ajarannya dan mengutip syair-syairnya, sebagai seorang ahli tertinggi. Di antara ajaran-ajarannya adalah mahabbah.
Mahabbah (rasa cinta) adalah keinginan untuk memberikan barang yang terbaik yang dimilikinya yakni hatinya, kepada kekasih. Cinta adalah kesatuan niat, kemauan dan cita-citanya dengan sang kekasih.[14]
Cinta (mahabbah) kepada Allah adalah tujuan puncak dari jenjang-jenjang sufisme. Di dalamnya terkandung unsur Kepuasan Hati (ridha), Kerinduan (syauq), dan Keintiman (uns). Ridha mewakili – pada satu sisi – ketaatan tanpa disertai adanya penyangkalan, dari seorang pecinta terhadap kehendak Yang Dicinta, syauq adalah kerinduan sang pecinta untuk bertemu dengan Kekasih, dan uns adalah hubungan intim yang terjalin antara dua kekasih spiritual itu. Dari tahap cinta ini seorang ahli akan langsung meraih ma’rifat, dimana ia akan mampu menyingkap keindahan Allah dan menyatu dengan-Nya, suatu penyatuan yang terjadi bukan hanya di dunia saja, tetapi abadi hingga kehidupan akhirat.[15]
Seorang pecinta, sebagaimana dikatakan oleh Abu Nashr al-Siraj, berada dalam tiga al-ahwal (kondisi atau tahapan) sebagai berikut : Tahapan pertama dari mahabbah adalah mahabbah al-‘Ammah (cinta kaum awam), dari cinta tersebut lahirlah kebaikan Allah dan kasih sayang-Nya kepada mereka. Tahapan kedua adalah mahabbah al-Shadiqin wa al-Mutahaqiqin, yaitu cintanya orang-orang yang jujur dan terpercaya. Cinta ini terlahir karena pandangan hati kepada kekayaan Allah, kemuliaan-Nya, keagungan-Nya, ilmu-Nya, kekuasaan-Nya. Tahapan ketiga adalah mahabbah al-Shiddiqin wa al-‘Arifin, yaitu cintanya kaum orang-orang yang jujur dan ahli makrifat. Cinta ini lahir dari pandangan dan makrifat mereka atas sifat qadim-Nya cinta Allah tanpa adanya sebab. Oleh karena itu merekapun mencintai Allah tanpa sebab.[16]
 Rabi'ah dipandang sebagai pelopor tasawuf mahabbah (cinta mistik), yaitu penyerahan diri total kepada “Kekasih” (Allah). Hakikat tasawufnya adalah habbul-illah (mencintai Tuhan Allah SWT).[17] Ia senantiasa beribadah kepada Allah tanpa mengharapkan surga, yang mengandung segala kelezatan bagi nafsu, dan bagi pandangan mata. Ia beribadah juga bukan disebabkan oleh karena takut terhadap neraka yang apinya menyala-nyala. Sesungguhnya Rabi'ah Adawiyah beribadah kepada Allah, dalam keadaan cinta kepada Allah, cinta terhadap Dzat-Nya yang suci.
Ia tidak mau menjadi seperti seorang buruh yang jahat, yang apabila diberi upah merasa senang dan apabila tidak diberi upah lantas membenci. Ia juga tidak mau seperti seorang budak yang bekerja karena cambuk atau karena uang. Rabi'ah Adawiyah ingin agar manusia mengikuti jejaknya, berjalan di atas pijakan yang ia tempuh. Maksudnya, mereka menyembah Allah karena Dzat-Nya itu sendiri, bukan karena takut kepada neraka-Nya, atau karena tamak untuk mendapatkan surga-Nya.
Terkadang, ia menjelaskan sikapnya ini dengan tamsilan. Suatu hari, orang melihat Rabi'ah membawa air di tangan kiri, dan api di tangan kanannya. Orang pun bertanya, “Kemana engkau, Rabi'ah?” dengan tangkas Rabi'ah menjawab, “Saya mau ke langit untuk membakar surga dan memadamkan api neraka, agar keduanya tak menjadi sebab manusia menyembah-Nya”. Tentu saja orang awam heran melihat perilaku Rabi'ah yang tak masuk akal itu. Bukankah membakar surga dengan api dunia atau memadamkan api neraka dengan air dunia adalah kemustahilan. Tapi orang-orang yang berilmu mengerti bahwa apa yang tersirat di balik perilaku Rabi'ah itu. Mereka tahu, ini adalah salah satu caranya, agar manusia menyembah Allah dengan ikhlas – bukan menyembah-Nya karena surga atau takut neraka.[18]
Apa yang diajarkan Rabi’ah melalui mahabbah-nya, sebenarnya tak berbeda jauh dengan yang diajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep khauf (takut) dan raja’ (harapan). Hanya saja, jika Hasan al-Bahsri mengabdi kepada Allah didasarkan atas ketakutan masuk neraka dan harapan untuk masuk surga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya. Ia mengabdi kepada Allah bukan lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasan surga, namun ia mencinta Allah lebih karena Allah semata. Sikap cinta kepada dan karena Allah semata ini misalnya tergambar dalam sya’ir Rabi’ah sebagai berikut :
Wahai Tuhanku, jika aku menyembah-Mu, karena takut dari siksa  neraka-Mu ,maka bakarlah diriku dengan api itu. Dan jika  menyembah-Mu karena mengharapkan masuk ke surga-Mu, maka haramkanlah surga itu dari diriku. Namun , jika aku menyembah-Mu,karena cinta kepada-Mu, maka berikanlah balasan-Mu yang besar itu kepadaku. Izinkan aku menyaksikan wajah-Mu Yang Agung dan Mulia.[19]



















BAB III
KAJIAN ANALISIS

Rabi'ah Adawiyah adalah orang pertama yang memindahkan konsep zuhud ke puncak sufisme. Ia adalah orang pertama yang mengubah konsep-konsep sufisme dari al-Khauf (takut) menjadi al-Hubb (cinta), dari al-Ra’b (ketakutan) menjadi al-Ma’rifah (mengenal), dari al-Hirman (penolakan) menjadi al-Ridha (pasrah), dari al-Qaswah (keras dan kaku) menjadi al-Isyraq (pujian).
Semasa hidupnya, Rabi’ah menghabiskan hidupnya hanya untuk “mencintai Allah”  tidak ada ruang kosong dalam hatinya untuk mencintai manusia, khususnya lelaki sebagai pendamping hidupnya. Beliau mengajarkan kepada umat Islam agar dalam melaksanakan ibadah senantiasa di dasari karena cinta kepada Allah bukan karena makhluk-Nya.
Mahabah sebagai martabat untuk mencapai tingkat makrifat (ilmu yang dalam untuk mencari dan mencapai kebenaran dan hakikat) diperoleh Rabi'ah setelah melalui martabat-martabat kesufian, dari tingkat ibadah dan zuhud ke tingkat ridla, dan ihsan (kebajikan), sehingga cintanya hanya kepada Allah SWT.  
Cinta kepada Allah (mahabbatullah), dan cinta pada Rasul-Nya, merupakan seagung-agungnya kewajiban keimanan, sebesar-besarnya pokok keimanan, dan semulia-mulia dasar keimanan. Bahkan ia merupakan pokok setiap amal perbuatan dari segala perbuatan keimanan dan keagamaan. Setiap gerak dan perbuatan muncul dari mahabbah, baik itu dari mahabbah yang terpuji (mahmudah) maupun yang dari mahabbah yang tercela (madzmumah).[20] Seluruh amal perbuatan keimanan itu tidak lahir kecuali dari mahabbah mahmudah, yaitu cinta kepada Allah. Sementara amal yang lahir dari mahabbah madzmumah di sisi Allah itu tidak menjadi amal saleh.
Rabi'ah adalah pelopor di dalam meletakkan kaidah-kaidah rasa cinta dan rasa sedih di dalam perkembangan tasawuf Islam. Dialah yang meninggalkan bisikan-bisikan kejujuran dalam mengungkapkan renungan tentang cinta dan kesedihannya. Puisi dan prosa mendominasi sastra Sufi sesudah masa Rabi'ah adalah bau semerbak dari sekian banyak keharuman Rabi'ah Adawiyah, sang pelopor dalam kecintaan dan kesedihan di dalam Islam. Orang yang mencintai secara sempurna tidak akan terpengaruh oleh celaan para pencela dan hinaan para penghina. Malah hal itu menjadikannya terdorong untuk mengokohkan mahabbahnya kepada Tuhannya.
Pada awal abad ke-2 Hijrah, Iraq telah membangkitkan getar hati manusia dengan semangat dan kekuatan peradaban kehidupan. Kota Bashrah ketika itu bagaikan bintang yang berkelap-kelip di Iraq. Kota itu telah terbuka pintu-pintunya bagi para ulama dan pemikir, kota itu benar-benar menjelma menjadi tempat berkumpulnya keagungan raja-raja Persia dengan barang-barang mewahnya, hingga kota itu bergelimang penuh dengan kemewahan, keagungan dan keindahan. Keadaan hidup masyarakat Islam dalam pemerintahan Bani Umaiyah waktu itu, yang sebelumnya terkenal dengan ketaqwaan telah mulai berubah. Pergaulan semakin bebas dan orang ramai berlumba-lumba mencari kekayaan. Justru itu kejahatan dan maksiat tersebar luas. Pekerjaan menyanyi, menari dan berhibur semakin diagung-agungkan.  Maka ketajaman iman mulai tumpul dan zaman hidup wara’ serta zuhud hampir lenyap sama sekali.
Banyak orang-orang Islam yang telah tenggelam dalam kemewahan dan gemerlapnya dunia hingga melalaikan kewajibannya sebagai makhluk Allah yang diciptakan hanya untu beribadah. Hal inilah diantaranya yang menjadi motivasi bagi para Sufi saat itu, termasuk Rabi'ah Adawiyah, untuk meninggalkan segala tipu daya dunia demi mencapai kebahagiaan hakiki di akhirat nanti. Para Sufi, terlebih lagi Rabi'ah Adawiyah, menganggap bahwa cinta pada dunia hanyalah menjadi penghalang untuk dekat pada Allah. Dunia adalah hina, kekayaan dan kekuasaan hanyalah milik Allah, untuk itu tidak pantas bagi manusia untuk menyombongkannya apalagi sampai melupakan kepada Tuhannya.
Rabi'ah Adawiyah dari mulai lahir sudah terbiasa dengan kehidupan zuhud, hal ini karena ayahnya adalah seorang zahid, yang malu meminta kepada sesamanya. Ia pada usia remaja telah “terpenjara” fisiknya oleh perbudakan, meskipun hatinya bebas mengembara tanpa ada yang dapat memenjarakannya. Hal ini pula yang memotivasi Rabi'ah untuk lebih dekat pada Allah dengan mahabbahnya.


















BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan 

Rabi'ah al-Adawiyah adalah sufi wanita yang memberi nuansa tersendiri dalam dunia tasawuf dengan pengenalan konsep mahabbah. Sebuah konsep pendekatan diri kepada Tuhan atas dasar kecintaan, bukan karena takut akan siksa neraka ataupun mengharap surga. Cinta Rabiah merupakan cinta yang tidak mengharap balasan. Rabiah adalah seorang zahidah sejati. Beliau merupakan pelopor tasawuf mahabbah, yaitu penyerahan diri total kepada “kekasih” (Allah) dan ia pun dikenang sebagai ibu para sufi besar (The Mother of The Grand Master). Hakikat tasawufnya adalah habbul-ilāh (mencintai Allah SWT).
Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memiliki nilai tertinggi. Bahkan kedudukan mahabbah dalam sebuah maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam ma’rifat, atau antara mahabbah dan ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan.
Kecintaan (Mahabbah) Rabi’ah terhadap Allah menjadi sebuah hal yang tak terlukiskan. Apa yang dilakukannya sebetulnya merupakan ikhtiar seorang manusia untuk membiasakan diri ‘bertemu’ dengan penciptaNya. Disitulah ia memperoleh kehangatan, kesyahduan, kepastian dan kesejatian hidup. Sesuatu yang kini dirindukan oleh banyak orang. Menjadi pemuja Tuhan adalah obsesi Rabiah yang tidak pernah mengenal tepi dan batas. Tak heran jika dunia yang digaulinya bebas dari perasaan benci. Seluruhnya telah diberikan untuk sebuah pengejaran cinta yang agung dari Penciptanya.
Akhirnya  pemakalah berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi diri pemakalah sendiri. Saya sadar, makalah ini masih jauh dari sempurna, hal ini karena keterbatasan ilmu yang saya miliki. Untuk itu saran dan kritik demi kemajuan dan perbaikan makalah ini sangat diharapkan.  
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mun’im Qandil, Figur Wanita Sufi : Perjalanan Hidup Rabi’ah Al Adawiyah, Surabaya, 1933.
AJ. Siraaj, A.H. Mahmoud, Perawan Suci dari Basrah : Jenjang Sufisme Rabi’ah Adawiyah, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2003.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 4, Cet. 4, Ichtiar Baru, Jakarta, 1997.
Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazami, Sufi Dari Zaman ke Zaman : Suatu Pengantar Tentang Tasawuf , Pustaka, Bandung, 1985.
Dr. Javad Nurbakhsh, Sufi Women,  Khaniqahi-Nimatullahi Publications, New York, 1983.
Fadhlallah Syaikh, The element of Sufisme, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Ibnu Taimiyah, Risalah Tasawuf Ibnu Taimiyah, Penerbit Hikmah, Jakarta, 2002.
Kamal Adnan Mustofa, Rahasia Pesona Cinta Illahi, Jakarta : Rabitha Press, 2008
Louis Massignon & Mustafa Abdur Raziq, Islam dan Tasawuf,  Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2001.
Margaret Smith, M.A., Ph.D., Rabi’ah : Pergulatan Spiritual Perempuan, Risalah Gusti, Surabaya, 1997.




[1] Abdul Munim Qandil, Figur Wanita Sufi : Perjalanan Hidup Rabi’ah Al Adawiyah, Surabaya, 1933, hal. 1.
[2] Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazami, Sufi Dari Zaman ke Zaman : Suatu Pengantar Tentang Tasawuf , Pustaka, Bandung, 1985, hal.83.
[3] Louis Massignon & Mustafa Abdur Raziq, Islam dan Tasawuf,  Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2001, hal. 116.
[4] Margaret Smith, M.A., Ph.D., Rabi’ah : Pergulatan Spiritual Perempuan, Risalah Gusti, Surabaya, 1997, hal. 7.
[5] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 4, Cet. 4, Ichtiar Baru, Jakarta, 1997, hal. 148.
[6] AJ. Siraaj, A.H. Mahmoud, Op.Cit., hal 2.
[7] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op. Cit.
[8] AJ. Siraaj, A.H. Mahmoud, Op.Cit., hal 8.
[9] Abdul Mun’im Qandil, Op.Cit., hal. 23.
[10] Lihat, Dr. Javad Nurbakhsh, Sufi Women,  Khaniqahi-Nimatullahi Publications, New York, 1983, hal. 31.
[11] Lihat : Louis Massignon & Mustafa Abdur Raziq, Op.Cit., hal 116.
[12] Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazami, Op.Cit., hal. 83
[13] Louis Massignon & Mustafa Abdur Raziq, Op.Cit., hal 116..
[14] Louis Massignon & Mustafa Abdur Raziq, Op.Cit., hal 116..
[15] Margaret Smith, M.A., Ph.D., Op. Cit., hal. 101.
[16] Lihat : AJ. Siraaj, A.H. Mahmoud, Op.Cit., hal 127-128.
[17] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op. Cit.
[18] Abdul Mun’im Qandil, Op.Cit., hal. 171-172.
[19] AJ. Siraaj, A.H. Mahmoud, Op.Cit., hal 137.
[20] Ibnu Taimiyah, Risalah Tasawuf Ibnu Taimiyah, Penerbit Hikmah, Jakarta, 2002, hal. 55.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar